Friday, February 7, 2014

ketikan ulang buku frasa

BAB I FRASA BAHASA INDONESIA Bahasa adalah salah satu komponen yang paling penting dalam kehidupan manusia. dalam bentuk tulisan, bahasa menyimpan pengetahuan dari satu generasi ke generasi lain sedangkan bentuk lisan bahasa berperan mengarahkan tingkah laku manusia sehari-hari dalam berhubungan dengan orang lain. Bahasa terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan bentuk, lapisan arti, dan lapisan fungsi. Ditinjau dari lapisan bentuk, bahasa terdiri dari satuan-satuan yang dapat dibedakan menjadi satuan fonologi dan satuan gramatik. Satuan fonologi meliputi fonem dan suku kata sedangkan satuan gramatik meliputi wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, dan morfem. Bahasa sebagai fenomena yang memadukan bunyi dan makna tidak cukup diuraikan dan dideskripsikan berdasarkna subsistem leksikon, gramatika dan fonologi namun pendeskripsian bahasa didasarkan pula pada prinsip-prinsip secara sintaksis dan pragmatis. Pendekatan gramatika khususnya sintaksis bukan hanya diakui dari eratnya subsistem gramatika dengan subsistem leksikon melainkan didasarkan pada struktur gramatika, yaitu: struktur, kategori, dan fungsi. Struktur gramatika suatu bahasa adalah suatu organisasi yang terdiri dari satuan-satuan dan hubungan relasi. Hubungan antara satuan-satuan bahasa diwujudkan dalam manifestasi (1) hubungan sintagmatik, yaitu hubungan linier di antara satuan-satuan, (2) hubungan paradigmatis, yaitu hubungan di antara satuan-satuan dengan segenap satuan lain dalam perangkat alternative yang dimungkinkan dalam suatu bahasa, (3) distribusi, yaitu semua posisi yang mungkin diduduki oleh satuan-satuan gramatikal, dan (4) hierarki, yaitu susunan teratur antarsatuan mulai dari terkecil ke atas sampai terbesar. Dalam gramatika terdapat satuan-satuan dimulai dari kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana yang masing-masing merupakan tataran gramatikal (Kridalaksana, 1991:210). Salah satu subdisiplin gramatika objek kajian frasa dan kalimat dari berbagai segi adalah sintaksis. Berdasarkan tatanan unsur pembentuk frasa, klausa dan kalimat merupakan konstruksi sintaksis. Berkaitan dengan tataran sintaksis, bahasa Indonesia bukan bahasa fleksi sehingga penentuan kelas kata (kategori sintaksis) sebagian besar dilakukan berdasarkan ciri-ciri sintaksis. Ciri-ciri sintaksis dalam beberapa hal tidak sejelas ciri morfemis. Oleh karena itu, muncul persoalan mengenai pengkategorian sejumlah kata tertentu. Dilihat dari segi bentuk, kata yang bentuknya sama belum tentu memiliki kategori sintaksis yang sama (Purwo, 1994:163). Hal ini tampak pada contoh kata baru dan mandi masing-masing memiliki dua kemungkinan “berdistribusi sintaksis”. Kedua kata tersebut memiliki perilaku atau perangai sintaksis yang berbeda. Kata baru pada frasa pegawai baru dan baru pergi memiliki perilaku dan perangai sintaksis yang berbeda. Kata baru yang terletak di sebelah kanan kata pegawai lazim disebut posisi atributif pada umumnya diisi oleh kategori ajektiva sedangkan kata baru yang terletak di sebelah kiri pergi disebut posisi substantif pada umumnya diisi oleh kategori adverbial. Dalam bahasa Indonesia ada empat kategori sintaksis utama, yaitu: (1) verba, (2) nomina, (3) ajektiva, dan (4) adverbia. Nomina, verba, adverbia, dan ajektiva sering dikembangkan dengan tambahan pembatas tertentu. Nomina misalnya dapat dikembangkan dengan nomina lain, ajektiva atau kategori lain. Misalnya: gedung sekolah, gedung bagus, gedung yang bagus itu. Adanya pembatas tertentu pada setiap kata atau frasa dalam kalimat memiliki fungsi mengaitkan dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Di samping itu ada fungsi lain seperti atributif (yang menerangkan), koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat). Berkaitan dengan pemakaian pembatas dalam bahasa Indonesia ditemukan beberapa struktur atributif ditinjau dari distribusi atau hubungan makna. Secara umum struktur atributif mempunyai berbagai variasi dan corak namun demikian hampir semua bahasa mempunyai variasi/corak yang sama. Struktur frasa bahasa Indonesia adalah sekelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan panjang. Sebagai bagian fungsional frasa dalam struktur ekstrafasalnya merupakan konstituen yang menyeluruh. Berbeda dengan struktur intrafarsal yang menentukan tipe frasa, misalnya frasa nominal memiliki nomina sebagai konstituen induk dan atribut sebagai konstituen bawahan (Verhaar, 1999:292). Pada hakikatnya klasifikasi frasa didasarkan pada urutan kategori sintaksis. Berdasarkan hubungan antar unsur atau hubungan yang memiliki konstituen (unsur) sebagai induk (head) dan hubungan tak berinduk dibedakan menjadi dua, yaitu (1) frasa endosentris dan (2) frasa eksosentris. Frasa yang memiliki konstituen sebagai induk (inti) disebut endosentris sedang frasa yang tidak berinduk disebut eksosetris. Tipe frasa endosentris merupakan frasa yang bersifat atributif. Frasa endosentris atributif berkaitan dengan kaidah D-M atau M-D dengan konstituen atributif sebagai M (Menerangkan) dan konstituen induk sebagai D (Diterangkan). Contoh sebagai berikut: istri muda D M Induk atribut Bandingkan dengan: seorang istri muda M D M atribut induk atribut Berdasarkan contaoh frasa seorang istri muda tampak bahwa atributif (M) sebagai konstituen pewatas (modifier) di dalam struktur bahasa Indonesia dapat lekat kanan atau lekat kiri mengapit unsur induk. Sebagai induk (head) ajektiva dalam hal komparatif dapat diapit oleh atributif (M) di kanan dan kiri. Contoh sebagai berikut: sama besar seperti M D M atr. Induk (Aj) atr. Konstruksi frasa endosentrik merupakan frasa yang slah satu konstituennya dapat berfungsi sebagai “head”. Konstituen tersebut disebut inti dapat mewakili seluruh kontruksi endosentrik dan menentukan perilaku sintaksis atau semantik frasa dalam kalimat. Contoh kalimat: Perusahaan kami telah membeli tiga mobil Jepang yang masih baru. Kata mobil menjadi inti frasa tiga mobil Jepang dan dapat mewakili seluruh frasa. Kata tiga dan Jepang dalam frasa nominal berfungsi sebagai pewatas. Konstruksi frasa endosentrik dalam kalimat di atas, meliputi: (1) frasa verbal seperti telah membeli, (2) frasa ajektival seperti masih baru, dan (3) frasa nominal seperti mobil Jepang. Frasa endosentris masih dipilah-pilahkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) frasa endosentris koordinatif, (2) frasa endosentris atributif, dan (3) frasa endosentris apositif. Frasa endosentris koordinatif adalah frasa yang unsur-unsurnya mempunyai kedudukan setara. Contoh: anak rajin dan tekun I atr. Konj. Atr. Pada frasa anak rajin dan tekun mempunyai hubungan fungsi gramatikal yang setara yang dirangkaikan dengan konjungsi dan. Berbeda dengan frasa endosentris atributif memiliki anggota yang kedudukannya tidak sama, yakni satu unsur berkedudukan sebagai inti atau anggota dan satu unsur berkedudukan sebagai atribut atau penjelas. Contoh: buku baru dibentuk dari dua buah unsur, yaitu unsur buku sebagai inti sedangkan unsur baru berupa atribut. Frasa endosentris apositif memiliki kekhasan, yaitu semua anggota frasa baik inti maupun atribut dapat saling mangganti. Contoh: frasa Indonesia, tanah airku. Pada frasa Indonesia, tanah airku tampak bahwa hubungan antara unsur pertama sebagai inti dengan atribut dibatasi oleh tanda koma. Fungsi atributif masing-masing kelas kata memiliki struktur berbeda di dalam bahasa apabila dilihat dari segi perilaku sintaksis. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk lebih dalam meneliti lebih lanjut tentang fungsi struktur atributif dalam bahasa Indonesia. Beberapa alasan peneliti mengapa yang digunakan adalah struktur atributif bahasa Indonesia dalam wacana naratif. Pertama, struktur atributif bahasa Indonesia merupakan struktur yang penting dalam sebuah sistem leksikosintaksis suatu bahasa. Hal itu ditunjukkan dengan sudah dibicarakan bahwa kelas kata sejak jaman pengkajian gramatika plato yang dianggap bahwa struktur atributif dalam wacana digunakan untuk mengetahui posisi yang dapat diduduki dalam konteks wacana naratif. Kedua, kajian terhadap atributif akan lebih bermakna jika struktur atributif dan pola penggunaannya dalam wacana ditelaah. Kajian atributif dalam bahasa Indonesia antara lain dikemukakan oleh Verhaar (1999), Purwo (1994), dan Alwi (1999). Berdasarkan sudut pandang itu hanya dideskripsikan berbagai jenis pola atributif berdasarkan fitur sintaksis dan semantis, fungsi, kategori, dan peran namun penggunaan struktur atributif dalam wacana khususnya narasi belum banyak dibicarakan. Ketiga, atributif memiliki keunikan karena sebagai modifier atributif memiliki peranan penting dalam frasa. Dilihat dari posisinya dapat lekat kiri (mendahului) dan lekat kanan (mengakhiri) dan bahkan bisa keduanya digunakan untuk mengapit inti jika berfungsi sebagai pembanding. Bentuk atributif bisa dikacaukan keberadaannya dengan substantif apabila melekat pada sebuah kata yang sama. Oleh karena itu, penulis memilih struktur atributif bukan bentuk yang lain, misalnya struktur predikatif yang sudah jelas posisinya dalam kalimat jika dibandingkan dengan atributif. Atributif memiliki beberapa kemungkinan struktur jika digunakan dalam frasa verbal, ajektival, nominal, dan preposisional. Banyak perhatian terhadap atributif dengan segala aspeknya baik ditinjau dari ciri gramatikal maupun ciri semantis masih menyisakan banyak pertanyaan. Pertanyaan itu tidak hanya berhubungan dengan bagaimana harus membedakan, menamai, mengklasifikasi struktur berdasarkan kedua ciri tersebut. Pertanyaan pokok berkaitan dengan struktur atributif terhadap wacana naratif adalah: ada apa dengan struktur atributif dalam wacana narasi / mengapa struktur atributif dalam wacana naratif? Bagaimanakah pola struktur atributif dalam wacana naratif? Apakah struktur atributif dapat digunakan untuk mengupas sebuah wacana? Oleh karena itu, penelitian struktur frasa atributif perlu dilakukan untuk mencari struktur atributif frasa bahasa Indonesia yang terdapat dalam wacana naratif. Structural (sifat struktur) mengikuti paham strukturalisme dengan pelopor Ferdinand De Saussure. Dalam paham strukturalisme disebutkan bahwa unsur bahasa itu satu sama lain saling berhubungan membentuk satu kesatuan (the whole unified). Gagasan De Saussure ini mempengaruhi filsafat gramatika Oto Jespersen yang diungkapkan bahwa “segala sesuatu harus tetap ditaati bentuk fungsi dan maknanya”. Pemahaman fungsi dan makna erat sekali dengan hubungan antarunsur dalam membentuk satu kesatuan. Dalam strukturalisme dikatakan bahwa unsur minimal kalimat disebut frasa yang dapat dipahami menurut hubungan antarunsur pembentuknya. Pembagian frasa meliputi kelas kata ditentukan adanya: frasa nominal, ajektival, verbal, dan adverbial. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini dibatasi pada masalah struktur atributif dalam wacana naratif. Strukturalisme merupakan cara pandang terhadap realita. Hal ini seperti dijelaskan oleh Wittgenstein bahwa dunia merupakan “state of affair”. Penelitian tentang kalimat terdapat dalam bidang linguistik yang harus dipelajari secara kreatif sebagaimana dikatakan oleh Chomsky (1965) bahwa semua manusia mempunyai kecenderungan halus untuk mengelola linguistik dalam satu cara tertentu, semua orang dapat berperan dalam memiliki pengetahuan tata bahasa umum yang dipelajari oleh setiap orang secara kreatif. Secara ringkas struktur mengandung tiga gagasan umum, yaitu: (1) Keseluruhan Sifat menyeluruh merupakan ciri utama struktur. Struktur terdiri dari kesatuan unsur-unsur namun unsur-unsur dalam suatu struktur itu tidak diutamakan, kesatuan keseluruhan lebih penting dan utama daripada bagian unsur-unsur. (2) Transformasi Struktur dapat didefinisikan sebagai suatu sistem transformasi yang akan melibatkan hukum-hukum transformasi. Struktur-struktur itu akan melibatkan hukum-hukum transformasi. Berdasarkan struktur itu akan diperlihatkan dan diperkaya melalui pergerakan hukum transformasi. (3) Keteraturan Sendiri Struktur tidak memerlukan unsur luar untuk melakukan transformasi, bertindak pada kekuatannya sendiri melalui hukum transformasi yang ada dalam dirinya. A. Hakikat Frasa Tata bahasa dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) morfologi yang membicaraka struktur kata dan (2) sintaksis yang membicarakan struktur frasa dan kalimat. Istilah frasa diungkapkan sebagai bentuk linguistik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas subjek dan predikat. Sebuah frasa sekurang-kurangnya mempunyai dua anggota pembentuk. Anggota pembentuk itu ialah bagian dari sebuah frasa yang terdekat atau langsung membentuk frasa. Menurut Bloomfield (1933:178) konsep frasa “A free form which consistsentirely of two or more less free forms, … is a phrare”. Bentuk bebas yang tetap terdiri atas dua atau lebih adalah frasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Ramlan (1996:151) bahwa frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Begitu juga Verhaar (1999:291) frasa adalah kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang. Patut dicatat bahwa tidak semua ahli linguistik menganggap frasa sebagai konstruksi dari dua kata atau lebih. Hal ini dikatakan oleh Pike&Pike (1982:24) yang menggambarkan selain sebagai konstruksi dua kata atau lebih juga “a single word expandable into a phrase but temporary fully filling the higher slot”. Ukuran sebuah kata termasuk dalam frasa tetapi memiliki kemandirian penuh dalam mengisi slot. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fraasa adalah suatu konstruksi yang dapat dibentuk oleh dua kata atau lebih dan bersifat non-predikatif. Predikatif adalah sifat fungsional bagi unsur klausa (kalimat). Sifat ini menjelaskan perbedaan frasa dan klausa. Klausa terdiri dari dua unsur atau lebih dan salah satu unsurnya bersifat predikatif. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu (1) merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dan (2) merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, yakni tidak terdiri atas subjek dan predikat. Frasa yang terdiri atas dua kata, misalnya frasa sakit sekali, akan pergi dengan mudah dapat ditentukan terdiri atas dua unsur kata pembentuknya tetapi frasa yang terdiri atas tiga kata atau lebih untuk menentukan unsur diperlukan prinsip analisis unsur langsung (immediate constituent). Immediate constituent (ICs) adalah padanan dari unsur bawahan langsung. Unsur bawahan langsung merupakan teknik analisis bahasa secara structural untuk menemukan satuan-satuan bahasa yang secara beruntun membentuk satu konstruksi bahasa yang lebih tinggi. Hal ini seperti dijelaskan oleh Gleason dalam pembuktian sebuah analisis unsur langsungdigunakan alat uji untuk memastikan satu konstruksi mempunyai beberapa konstituen pembentuk sebagai unsur langsung. Gleason (1955:132) menyatakan “A construction is any significant group of words (or morphemes)”. Sebuah konstruksi adalah setiap kelompok kata (morfem) yang bermakna. Lebih lanjut dikatakan bahwa “A constituen is any word or construction (or morphemes) which enters into some larger construction” (Gleason, 1995:132). Sebuah konstituen ialah setiap kata atau konstruksi yang masuk dalam beberapa konstruksi yang lebih besar. Contoh dalam bahasa inggris: the old man dalam the old man who lives there has gone to his son’s house terdiri atas 12 kata sebagai konstituen. Kalimat tersebut terdiri atas dua unsur langsung yakni: the old man who lives there / has gone to his house. Alat uji yang utama untuk menentukan Immediate Constituen (ICs) oleh Gleason dari setiap konstruksi ialah membandingkan sampel-sampel. Contoh dalam bahasa Inggris his sons house. Ada empat posisi kemungkinan yaitu: his/son’s house, his son’s/house, his son’s house (dengan diskontinyu konstituen his …. house) dan his son’s/house. Persoalan adanya empat kemungkinan dipilih mana yang lebih diutamakan untuk menentukan satu kaidah yang memungkinkan pada simpulan yang sama dengan contoh bandingan lain. Oleh karena itu, dicari satu konstruksi dengan dua kata yang dapat dibandingkan dengan kata his son’s house.konstruksi itu berada dalam lingkungan dan menunjukkan hubungan sintaksis yang sama. Sebuah contoh: John’s house dapat dibagi sebagai berikut: His son’ house John’s house Gambarkan analisis unsur langsung oleh Givon (198:42) dinyatakan dengan diagram pohon (tree diagram) seperti pada bagan berikut: S VP Subjek V Objek Comp (S) Subj Vp V She Told Marvin [0] to lea Bagan 2.1 Diagram pohon Berdasarkan bagan 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) S (sentence), (2) Subjek+VP, (3) V+O+Compl, dan (4) She told Marvin to leave. Data yang sama dapat ditemukan dalam contoh bahasa Indonesia. Frasa bangunan rumah itu terdiri atas tiga kata, yaitu bangunan, rumah, dan itu. Kata demonstrativ itu berkaitan dengan bangunan dan bisa berkaitan dengan rumah sehingga frasa bangunan rumah itu terdiri atas dua unsur, yaitu unsur (1) bangunan rumah dan itu atau (2) bangunan dan rumah itu. Bentuk bagan unsur 2 sebagai berikut: bangunan rumah itu bangunan rumah bangunan rumah bangunan rumah itu bangunan rumah itu rumah itu Berdasarkan Bagan 2 dapat dijelaskan bahwa unsur frasa itu dapat berupa kata dan dapat berupa frasa. Pemakaian frasa yang terdiri atas empat kata, misalnya frasa baju baru anak itu jika diuraikan terdiri atas dua unsur yang berupa kata, yaitu (1) kata baju dan kata baru dan (2) kata anak dan kata itu. Bentuk diagram unsur sebagai berikut: baju baru anak itu baju baru anak itu baju baru anak itu Bagan 2.2 Bentuk Diagram Unsur Satuan gramatik seperti rumah sakit, kolam renang, dan lomba tari bukan frasa, melainkan kata majemuk. Ciri-ciri kata majemuk, yaitu: (a) salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata dan (b) unsur-unsurnya tidak dapat dipisahkan. B. Kategori Frasa Berdasarkan Distribusi Unsur Salah satu penjenisan frasa didasarkan pada distribusi unsur dalam kalimat. Berdasarkan distribusi unsur dalam kalimat, secara umum frasa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu frasa eksosentris dan frasa endosentris. Hal ini tampak pada bagan 2.3 sebagai berikut: frasa endosentris eksosentris koordinatif attributif apositif objektif direktif Bagan 2.3 Kategori Frasa 1. Frasa Endosentris Tiap-tiap konstruksi sintaksis menunjukkan dua atau lebih bentuk bebas yang digabungkan menjadi sebuah frasa yang disebut dengan frasa resultan (Bloomfield, 1933:188). Lebih lanjut dijelaskan bahwa frasa resultan memiliki distribusi yang sama dengan salah satu atau lebih dengan konstituen-konstituennya. Contoh frasa poor John adalah ungkapan nama diri, bentuk kata John dan poor John secara keseluruhan memiliki kategori yang sama dengan konstituen bentukannya. Menurut Verhaar (1982:133) frasa endosentris adalah frasa yang unsur pusatnya mampu berdistribusi sama (paralel) dengan frasa yang dibentuknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ramlan (1996:155) yang mengatakan bahwa frasa frasa yang mempunyai distribusi sama dengan unsurnya, baik semua unsure maupun salah satu unsurnya disebut frasa endosentrik. Sebuah frasa merupakan frasa endosentris jika unsur pusatnya berkategori sama dengan frasa bentukannya. Hal ini tampak pada pemakaian kalimat berikut: (1) Kalimat kakek saya sedang mencangkul di sawah. (2) Frase: kakek saya, sedang mencangkul, dan di sawah. inti inti kedua unsur inti dalam frasa ternyata memiliki distribusi yang sama dengan frasa-frasa yang dibentuknya. Frasa kakek saya dapat diganti kakek, sedangkan frasa sedang mencangkul dapat diganti mencangkul. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparno (1994:193) yang menyatakan bahwa frasa yang unsur pusatnya mampu berdistribusi sama (paralel) dengan frasa yang dibentuknya disebut frasa endosentris. Menurut Bloomfield (1933:188) ada dua macam konstruksi endosentris, yaitu koordinatif (serial) dan subordinatif (atributif). Sebagai contoh frasa dengan konstituen, boys and girls termasuk frasa dengan kelas dan bentuk sama dengan konstituen-konstituen boys, girls. Frasa endosentris masih dapat dipilah-pilah menjadi tiga kategori, yaitu: (1) frasa endosentris koordinatif, (2) frasa endosentris atributif, dan (3) frasa endosentris apositif (Ramlan, 1986:146 dan Djajasudarma, 1997:11). Hal ini tampak pada Bagan sebagai berikut: frasa endosentris koordinatif atributif apositif Bagan 2.4 Kategori Frasa Endosentris 2. Frasa Endosentris Koordinatif Struktur frasa endosentris koordinatif adalah gabungan unsure atau konstituen yang sama kategori kelasnya berdasarkan sifat konstruksi. Frasa endosentris koordinatif terdiri atas aditif (penjumlahan), apositif (pembatasan), alternative (pilihan) dan unsur-unsur (konstituen) yang berkoordinatif. Hal ini tampak pada Bagan berikut: Endosentris Koordinatif Aditif apositif alternative unsur-unsur berkoordinatif Bagan 2.5 Sifat Konstruksi Frasa Endosentris Koordinatif Frasa endosentris koordinatif aditif yang bermakna penjumlahan mucul dengan penanda pertikel atau bersifat parataktis. Dalam konstruksi ini kedudukan anggota pembentuk sama, yang satu tidak bergantung yang lain. Hal ini seperti contoh berikut: (3) anak tekun dan cerdas I A A Berdasarkan contoh (3) tampak penggunaan frasa anak tekun dan cerdas dengan struktur terdiri atas anak sebagai inti diikuti oleh dua unsur atribut yang sejajar yaitu tekun cerdas. Di antara dua unsur atribut dirangkaikan dengan penanda aditif dan. Hubungan endosentris koordinatif apositif merupakan unsur yang berfungsi sebagai penjelas tambahan yang ditandai dengan jeda sebagai pembatas inti dan penjelas tambahan. Contoh sebagai berikut: (4) seorang anak , pegawai negeri Atr. I I Atr I A Berdasarkan contoh (4), seorang anak yang berfungsi sebagai inti dibatasi oleh pegawai negeri yang berfungsi sebagai atribut. Frasa koordinatif alternatif memiliki unsur sebagai pilihan. Hal ini seperti contoh berikut: (5) ibu atau bapak Di antara dua unsur inti, yaitu ibu bapak dirangkaikan dengan alternatif atau. Penggunaan alternatif dapat terjadi pada unsur-unsur yang berkoordinator seperti contoh berikut: (6) bukan dia melainkan kamu (7) baik anak maupun istrinya 3. Frasa Endosentris Atributif Berbeda dengan frasa endosentris atributif memiliki anggota yang kedudukannya tidak sama yakni ada anggota atau unsur yang menduduki inti dan ada anggota atau unsur yang menduduki atribut atau penjelas. Menurut Bloomfield (1933:187) pada konstruksi endosentris subordinatif (atributif) frasa resultannya termasuk kelas bentuk yang sama dengan salah satu konstituennya yang disebut induk. Sebagai contoh: poor John dengan konstituen John sebagai induk dan poor sebagai atribut. Pada contoh lain, frasa very fresh milk dengan konstituen langsung adalah milk (induk) dan very fresh (atribut). Denagn demikian, ada beberapa tataran posisi subordinatif pada very fresh milk, yaitu: (1) milk, (2) fresh, dan (3) very. Dalam bahasa Indonesia ditemukan contoh berikut: (8) Tukang itu membuat pintu kayu jati (9) Pagar saya itu dicat coklat (10) Di trotoar sekarang banyak pedagang kaki lima Unsur inti pada kalimat (8), (9), dan (10) dicetak miring sedangkan unsur lain yaitu kayu jati, itu, kaki lima merupakan atribut. Unsur inti pada frasa tersebut berdistribusi paralel dengan distribusi seluruh frasa. Bentuk frasa endosentris apositif mirip dengan frasa endosentris yang atributif. Unsur penjelas pada frasa endosentris apositif merupakan unsur yang berkedudukan sebagai penjelas tambahan. Dalam pengucapan unsur penjelas merupakan tambahan dengan ditandai oleh jeda sebagai pembatas inti dan pembatas tambahan. Yang dimaksud dengan aposisi adalah kata, frasa, atau klausa yang berfungsi memberikan keterangan tambahan pada inti, tetapi merujuk pada referensi yang sama dengan disertai oleh jeda atau tanda koma, baik disertai dengan kata tugas kopula yaitu atau yakni maupun tidak (Alwi, et.al, 1993:423-426). Ramlan (1987:157) menjelaskan bahwa istilah apositif dalam frasa endosentrik berarti gelar atau keterangan yang ditambahkan atau diselipkan, dan dapat diartikan sebagai keterangan pengganti. Unsur-unsur pembentuk frasa endosentrik apositif mempunyai referensi yang sama dan dapat saling menggantikan. Hal ini berarti bahwa konstruksi frasa endosentrik apositif terbentuk dari dua unsur atau lebih. Unsur-unsur pembentuknya secara otomatis mempunyai hubungan antarunsurnya, baik hubungan posisi maupun hubungan makna seperti berikut: (11) Muhamad, nabi yang terakhir, wafat di Madinah. Berdasarkan contoh (11) frasa endosentris apositif memiliki kekhasan, yaitu semua anggota frasa baik inti maupun penjelas dapat saling menggantikan. Dengan kata lain, distribusi baik inti maupun penjelas dapat dipertukarkan tempatnya. Menurut Lyons (1968:228) konstruksi endosentris dibedakan menjadi dua tipe utama, yaitu koordinatif dan subordinatif. Konstruksi koordinatif sama distribusinya dengan masing-masing konstituennya. Contoh: bread and cheese choffe and tea kedua tipe frasa diatas, memiliki subtipe yang berbeda. Frasa bread and cheese dihubungkan dengan verba pluralis sedangkan choffe and tea adalah frasa nominal koordinatif dengan konjungsi and. Contoh dalam bahasa Inggris: A+N (poor John) Adv+A (awfully clever) FN+Adv (the girl upstairs) Konstituen yang sama distribusinya disebut induk sedangkan konstituen lain disebut modifikator. Pada konstruksi subordinatif suatu modifikator secara rekursif “disematkan” pada yang lain. Misalnya: the man on the top of the bus terdiri atas dua konstituen induk modifikator the man pada konstruksi di atas merupakan induk sedangkan on the top of the bus sebagai modifikator. Secara umum konstruksi frasa endosentris atributif mempunyai berbagai variasi. Hubungan atributif pada frasa bila dikaji melalui hubungan D (Diterangkan), M (Menerangkan) akan terjadi seperti pada contoh berikut: (12) istri muda D M induk atribut Bandingkan: (13) seorang istri muda M D M atribut induk atribut (14) lebih pandai daripada M D M atribut induk atribut Pada data (12) frasa istri muda terdiri hanya dua unsur, yaitu istri berfungsi sebagai induk sedangkan kata muda berfungsi sebagai atribut. Berbeda dengan data (13) konstruksi frasa seorang istri muda dengan unsur istri berfungsi sebagai induk diapit oleh dua atribut seorang dan muda yang digunakan secara bersamaan. Begitu juga data (14) konstruksi frasa lebih pandai daripada memiliki unsur inti pandai yang diapit oleh dua atribut, yaitu lebih dan daripada yang digunakan secara bersamaan. Menurut Parera (1991:35) konstruksi frasa endosentris atributif mempunyai berbagai variasi, yaitu: (1) atributif mendahului pusat, misalnya sebuah buku, sering menangis, (2) pusat di depan atribut, misalnya gunung berapi, baik sekali, (3) atributif terpisah, misalnya sangat baik sekali, tiga orang mahasiswa, dan (4) atributif dengan pusat terpisah, misalnya almarhum Ditotruno mendiang. 4. Frasa Eksosentris Menurut Ramlan (1996:155) konsep frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan salah satu unsurnya. Berbeda dengan pendapat Alwi (1998:45) bahwa konstruksi eksosentris tidak mempunyai konstituen inti karena tidak ada konstituen yang dapat mewakili seluruh konstruksi itu. Dalam konstruksi subjek-predikat, misalnya: (frasa verbal) Narko menelepon, menjadi marah, (frasa preposisional) di kantor. Kata Narko, marah, dan kantor disebut poros. Kata menelepon merupakan konstituen konektif sedangkan di merupakan konstituen direktif. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa frasa eksosentris ialah sebuah satuan konstruksi frasa yang tidak berperilaku sintaktik sama dengan salah satu unsur pembentuknya. Menurut Ramlan secara umum frasa eksosentris dibedakan menjadi tiga. Hal ini tampak dalam bagan 9 berikut: frasa eksosentris direktif konektif predikatif Bagan 2.6 Frasa Eksosentris Unsur-unsur frasa eksosentris disebut petanda dan penanda atau preposisi/partikel (Ramlan, 1996:147). Semua kelompok kata yang berpartikel digolongkan dalam frasa eksosentris, misalnya: di meja, ke pasar, sepanjang jalan, menjelang siang dan sebagainya. Frasa berpartikel biasanya mengisi gatra tambahan dan berfungsi sebagai keterangan dalam sebuah klausa atau kalimat. Pendapat Ramlan sejalan dengan pendapat Kridalaksana 91987:81) yang menyatakan bahwa frasa eksosentris adalah frasa yang sebagian atau seluruhnya tidak mempunyai peerilaku sintaksis yang sama dengan komponen-komponennya. Frasa eksosentris mempunyai dua komponen, yaitu perangkai berupa preposisi atau partikel, seperti: si, para, kaum, yang dan sumbu berupa kata atau kelompok kata. Frasa yang dirangkaikan dengan preposisi disebut frasa eksosentris direktif atau frasa preposisional sedangkan frasa yang berupa kata atau kelompok kata disebut frasa eksosentris non-direktif. Semua kalimat dan bentuk pola dasar termasuk frasa eksosentris. Pola dasar, seperti: adik sakit, ibu datang dan sebagainya termasuk dalam frasa eksosentris. Lebih lanjut Kridalaksana (1988:91) membedakan frasa eksosentris menjadi dua, yaitu: (1) direktif dalam arti unsur-unsurnya berupa preposisi dan sumbu dan (2) non direktif yang terdiri atas partikel dan sumbu. Hal ini sejalan dengan pendapat Djajasudarma (1997:16) menyatakan bahwa frasa eksosentris dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: (1) struktur eksosentris objektif dan (2) struktur eksosentris direktif. Struktur eksosentris objektif mengacu pada hubungan v (verba) dengan objek (komplemen). Contoh: (15) memasak makanan V O Atr. I Pada contoh (15) frasa memasak makanan tampak adanya penggunaan objek langsung setelah unsur verba dengan struktur atribut mendahului induk. Berbeda dengan struktur frasa eksosentris direktif memiliki direktor. Unsur yang bergabung dengan direktor memiliki hubungan yang erat senbagai satu kesatuan. Contoh: (16) dari bandung prep. Lok. Bandingkan dengan: (17) dari saya prep. Pron pada data (16) frasa dari Bandung memiliki unsur dari diikuti lokasi (tempat) sedangkan pada data (17) frasa dari saya unsur dari diikuti pronominal persona. Dengan demikian, menunjukkan bahwa frasa preposisi memiliki keterkaitan yang erat sebagai unsur kalimat. C. Kategori Frasa Berdasarkan Kelas Kata Penjenisan frasa tidak hanya berdasarkan distribusi unsur intinya melainkan didasarkan juga oleh kategorinya. Kategori itu didasarkan pada unsur yang menjadi unsur inti atau unsur yang menjadi perangkai. Berdasarkan unsur yang menjadi inti frasa dibedakan atas beberapa kategori, yakni frasa nominal, frasa verbal, frasa ajektival, dan frasa numeral. Contoh: sepatu baru (FN), sudah tidur (FV), baik sekali (FA), dan tiga ratus biji (FNum). Bahasa Indonesia memiliki 12 (dua belas) jenis satuan bahasa yang bersifat atributif, yaitu: nomina (frasa nominal), verba (frasa verbal), ajektiva (frasa ajektival), adverbial (frasa adverbial), pronominal (frasa pronominal), demonstrative, numeralia, interogativa, artikel preposisi (frasa preposisional), frasa yang berunsur pusat “yang”, dan klausa relatif. Penjenisan frasa tidak hanya berdasarkan distribusi unsur intinya melainkan didasarkan juga oleh kategorinya. Kategori itu didasarkan pada unsur yang menjadi unsur inti atau unsur yang menjadi perangkai.berdasrkan unsur yang menjadi inti frasa dibedakan atas beberapa kategori, yakni frasa nominal, frasa verbal, frasa ajektival, dan frasa numeral. Contoh: sepatu baru (FN), sudah tidur (FV), baik sekali (FA), dan tiga ratus biji (FNum). D. Hubungan Struktur dan Teknik Kajian Pembahasan struktur dalam bahasa Indonesia dapat dipahami dari dua segi, yakni struktur berdasarkan tataran (unsur yang terkecil sampai dengan yang lebih luas) dan struktur yang bersifat hubungan antarunsur yang membentuk satu kesatuan. Struktur bahasa Indonesia melalui salah satu unsur minimal kalimat dapat dikaji melalui kaidah D-M bagi unsur yang memiliki induk frasa tetapi bagi unsur lain tidak dapat ditentukan D-M/M-D karena memiliki unsur gramatikal yang sama. Struktur lain bisa dikaitkan dengan frasa sebagai unsur kalimat maka bagi frasa objektif pada konstruksi eksosentris memerlukan kategori berdasarkan pemilihan verba dan kopula. Verba menerangkan objek yang dikerjakan atau yang dijadikan sasaran makna yang diungkapkan verba itu sendiri tetapi tidak demikian halnya pada frasa eksosentris konektif, yaitu frasa yang memiliki konektor yang mengacu pada bagian di luar frasa itu. Strukturalisme Eropa dalam kajian unsur bahasa berhubungan dengan metode distribusional melalui beberapa teknik kajian seperti pelesapan (delesi), penyulihan (substitusi), perluasan (ekspansi), penyisipan (interupsi), pemindahan unsur (permutasi), parafrasa dan pengulangan. Hal yang menarik perhatian ialah cara kerja antarteknik yang perlu diperhatikan dalam penelitian mendalam bagi struktur kalimat bahasa Indonesia. Misalnya, penerapan teknik interupsi akan mengakibatkan ekspansi bagi struktur kalimat bahasa Indonesia dengan makna yang berlainan seperti kalimat: “Pada pesta itu saya mencium dia”. Berdasarkan contoh kalimat tersebut apabila disisipkan kata hanya akan menghasilkan beberapa gambaran berikut: Pada pesta itu saya mencium dia Hanya Perhatikan hasil penyisipan: 1. Hanya pada pesta itu saya mencium dia. Dikandung maksud (pada pesta yang lain tidak) 2. Pada pesta itu hanya saya yang mencium dia. (yang lain tidak) 3. Pada pesta itu saya hanya mencium dia. (tidak dengan cara selain mencium) 4. Pada pesta itu saya mencium hanya dia. (bukan yang lain). Berdasarkan gambaran beberapa kalimat di atas tampak peranan teknik interupsi yang mengakibatkan ekspansi bagi struktur kalimat. BAB II STRUKTUR FRASA Dalam bab II ini di bahas tentang (1) struktur frasa terdiri atas: (a) struktur frasa nominal, (b) struktur frasa verbal, (c) struktur frasa ajektival, (d) struktur frasa preposisional, (e) struktur frasa numeral, dan (2) frasa atributif yang terdiri atas ciri dan bentuk struktur atributif dalam bahasa Indonesia. A. Frasa Nominal Frasa nominal merupakan frasa yng unsur pusat atau unsur intinya merupakan nomina atau frasa nominal. Frasa nominal dapat bersifat koordinatif, bersifat atributif, dan bersifat apositif. (Oka dan Suparno, 1994:200). Menurut Kridalaksana (1988:85) frasa nominal adalah frasa modifikatif yang terjadi dari nomina sebagai induk dan unsur lain yang mempunyai hubungan subordinatif dengan induk, yaitu ajektiva, verba, numeralia, demonstrativa, pronomina, dan frasa berpreposisi. Frase nominal bersifat koordinatif apabila beranggotakan dua unsur pusat atau lebih yang semuanya merupakan nomina atau frasa nominal. Hubungan atau unsur pusat sering dieksplisitkan dengan tanda penghubung. Misalnya bapak ibu, meja kursi bapak dan ibu, meja dan kursi Frase nominal bersifat atributif apabila memiliki unsur inti berupa nomina atau frasa nominal. Atribut dalam frasa nominal dapat berupa: a) ajektiva, contoh apel hijau; b) nomina, contoh meja kayu; c) verba, contoh orang berjalan; d) partikula, contoh si pengecut; e) numeral, contoh lima saudara; f) frasa propesional, contoh orang di jalan; dan g) frasa konjungsional, contoh rumah yang besar. Menurut Gleason (1973:129) dan Sudaryanto (1987:7) frasa nominal atributif ialah frasa yang terdiri atas unsur pusat dan atribut. Unsur pusat dalam frasa nomina termasuk unsur yang diperikan sedangkan atribut dalam frasa nomina atributif (FNA) merupakan unsur pemeri. FNA termasuk frasa endosentris karena unsur pusat dan atributnya merupakan perilaku sintaktis yang sama, maksudnya dapat digunakan oleh unsur pusatnya. Contoh: se (satu) buah lagu lama dari Koes Plus numeralia penggolong nomina ajektiva preposisi nomina Atribut Inti Atribut Dalam frasa nomina atribut dapat berada di sebelah kiri nomina/sebelum nomina dan sebelah kanan nomina/sesudah nomina. Hal ini dapat dibuat skema sebagai berikut: atribut prenominal numeralia penggolong negasi atribut postnominal adjektiva determinatif nomina verba aposisi frasa nomina atribut (FNA) memiliki dua jenis unsur pusat kategori nomina/frasa nomina. Dalam bahasa Indonesia terdapat pola frasa nominal sebagai berikut: (1) FN N1 + N2 maksudnya frasa nominal terdiri dari N1 berupa kata atau frasa nominal sebagai induk diikuti N2 berupa kata/frasa nominal sebagai induk/atribut. Jadi, semua unsur berupa kata/frasa nominal. Contoh: ayah ibu, suami istri terdiri atas nomina yang keduanya berfungsi sebagai induk. Berbeda dengan contoh cincin emas, perusahaan batik terdiri dari cincin dan perusahaan sebagai induk sedangkan emas dan batik sebagai atribut. (2) FN N + V, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti verba sebagai atribut, contoh: Negara berkembang, orang bertopi, ruang tunggu. (3) FN N + Ajektiva, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti ajektiva sebagai atribut, contoh: petinju terbaik, anak nakal, air panas. (4) FN zN + Adverbia, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti adverbial sebagai atribut, contoh: Koran kemarin, orang tadi. (5) FN N + pron, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti pronomina sebagai atribut, contoh: ibu mereka. (6) FN N + Demonstrariva, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti demonstrative sebagai atribut, contoh: tahun ini. (7) FN N + Interogratif, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti interogratif sebagai atribut, contoh: buku apa. (8) FN N + numeralia/num + N, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk diikuti numeralia sebagai atribut/nomina sebagai induk didahului numeralia sebagai atribut, contoh: mereka bertiga, dua buah, enam penjahat. (9) FN N + preposisional, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina sebagai induk preposisioanal sebagai atribut, contoh: petunjuk di bawah. (10) Atribut berunsur pusat “yang” Contoh: kebijakan yang sentralistis Atr. Berpusat ‘yang’ (11) Atribut klausa relatif Contoh: orang-orang yang sangat senang Menurut Verhaar (1999:317-318) fleksibilitas semantis berada di antara induk dan atribut dalam frasa nomina. Dalam frasa nominal yang menarik perhatian adalah sifat struktur sintaksisnya, yaitu ada atau tidak alatnya “penyambung” untuk menyambung atribut dengan induk sehingga alat demikian disebut perangkai. Hampir semua bahasa memiliki perangkai dalam konstruksi tertentu, misalnya pronomina relatif untuk menyambung klausa relatif dengan induknya. Taraf hierarki keanggotaan kategorial atribut menurut penggolongan dapat dirinci: (a) Hierarki penyambungan; (b) Frasa dengan atribut anaforis, deiktis, interogatif, pembilang; (c) Frasa dengan atribut relatif; (d) Frasa dengan atribut adverbial; (e) Frasa dengan atribut adjektival atau verbal; (f) Frasa dengan atribut non-nominal rangkap serial; (g) Frasa dengan atribut non-nominal rangkap terkandung; (h) Frasa nominal tanpa induk; (i) Frasa nominal konjungsional. Antara nomina induk dan atribut non-nominal penyambungan tersebut dapat bersifat sangat rapat sehingga konstituen perangkai tidak diperlukan sedangkan bila penyambungan tersebut tidak begitu rapat konstituen perangkai dipakai secara opsional atau bahkan secara wajib. Misalnya, dalam bahasa indonesia yang wajib hadir dalam contoh (18) tetapi yang tidak wajib hadir dalam contoh (19). (18) anak (yang) telah datang (19) anak *(yang) cerdas Berdasarkan contoh frasa (18) perangkai yang wajib hadir karena tanpa yang ada konstruksi lain, yaitu kalimat anak telah datang. Sebaliknya frasa (19) anak (yang) cerdas menggunakan perangkai yang secara opsional. Sebagai perbandingan dalam bahasa Inggris pronominal realatif diperlikan dalam contoh (20) the present (which was) given to me tetapi dalam contoh (21) pronomina relatif tidak diperlukan. Hal ini tampak dalam contoh berikut: (20) (20) the present (which was) given to me (21) (21) the present over there *(which was) Dengan demikian, penggunaan pronomina relatif wajib digunakan pada contoh (20) sedangkan tidak waib digunakan pada frasa (21). Semakin rendah frasa dalam hierarki semakin kurang rapat sambungan antara induk dan atribut sehingga perangkai dipakai secara opsional atau sebaliknya perangkai wajib digunakan. Hal ini tampak dalam bagan 2.7 sebagai berikut: 7. nomina + artikel Kurang rapat 6. nomina + deiktik semakin rapat Sambungannya 5. nomina + pron. Interg sambungannya 4. nomina + pembilang 3. nomina + ajektiva 2. nomina + partisipan 1. nomina + kl. relatif (Verhaar, 1999:319) Berdasarkan pokok teori hierarki penyambung dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam setiap bahasa ada hierarki konstruksi bahasa frasa nomina + non nomina. Semakin tinggi frasa dalam hierarki semakin rapat hubungannya antara induk dan atribut sehingga perangkai hanya dipakai secara opsional sebaliknya semakin rendah frasa dalam hierarki penyambungan semakin kurang rapat sambungan antara induk dan atribut sehingga perangkai dipakai secara wajib. Contoh sebagai berikut: (22) meja (*yang) hijau itu taraf 7 (23) meja (yang) itu/ini taraf 6 (24) alat (yang) mana? taraf 5 (25) anak (yang) banyak taraf 4 (26) rumah (yang) indah taraf 3 (27) orang (yang) tak dikenal taraf 2 (28) orang (yang) datang terlambat taraf 1 Berdasarkan contoh (22) bahwa itu bersifat anaforis, artinya merujuk di dalam teks pada penyebutan nomina yang bersangkutan sebelumnya. Pemakaian itu pada contoh (23) bersifat endosentris, artinya merujuk sesuatu di luar teks sehingga pemakaian perangkai yang tidak diperbolehkan. Selain bersifat koordinatif dan atributif, frasa nominal bersifat apositif terdiri atas unsur pusat nomina frasa nominal. Sifat apositif dalam pengucapan ditandai oleh jeda sebagai batas antara inti dan atribut sedangkan dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda (,) seperti contoh berikut: Surabaya, ibu kota Jawa Timur. B. Frasa Verbal Verba adalah istilah dalam tatabahasa yang secara tradiosonal mengacu pada kelas kata yang menyatakan perbuatan atau tindakan. Deskripsi ini dikritik oleh banyak linguis karna ternyata ada verba yang tidak menyatakan tindakan atau perbuatan. Verba menjadi, adalah, ialah, tampaknya merupakan contoh verba yang tidak menyatakan tindakan. Definisi formal verba mengacu pada elemen yang secara morfologis dapat menyatakan kontras mengenai kala, aspek, mood, persona dan jumlah. Yang dimaksud verba adalah salah satu kategori kata yang mengisi predikat pada kalimat verbal. Verba dapat dikenali melalui beberapa hal, antara lain bentuk, fungsi, sintaksis, dan semantik. Dilihat dari segi bentuk, verba menjadi dua jenis, yaitu verba tanpa tanda bentuk (verba tidak berafiks) dan verba dengan tanda bentuk (verba berafiks). Dilihat dari segi fungsi verba memiliki fungsi utama sebagai predikat dalam kalimat atau klausa dan berfungsi sebagai atribut (Alwi, 1998:87). Misalnya, kalimat ia akan mendaftar ujian terbuka, verba mendaftar berfungsi sebagai P (inti) sedangkan verba terbuka berfungsi sebagai atribut terhadap nomina kata ujian. Verba lazim dikategorikan berdasarkan perbedaan transitif dan tak transitif. Verba tak transitif di dalam bahasa Indonesia dapat dipilah menjadi tiga jenis berdasarkan pada perilaku sintaksis. Jenis pertama adalah verba transitif yang tidak wajib diikuti oleh konstituen lain berupa NP atau frasa berpreposisi, contoh (29). Jenis kedua contoh (30) ialah verba transitif yang wajib diikuti oleh NP. Jenis ketiga ialah verba tak transitif yang wajib diikuti oleh frasa berpreposisi (contoh 31). (29) Petani itu bergembira. (30) a. Petani bertanam jagung. b. Petani kehilangan sepeda. (31) a. Petani itu tidur (di gubug). b. Petani tiu tinggal *(di gubug). Istilah frasa verbal memiliki dua pengertian. Pertama, frasa verbal secara tradisional mengacu pada kelompok verba yang secara bersama-sama memiliki fungsi sintaktik seperti verba tunggal. Dalam frasa verbal semacam ini inti frasa verba adalah verba sedangkan yang lain adalah subordinatnya. Dalam tatabahasa generatif frasa verbal memiliki definisi yang lebih luas, yakni meliputi semua bagian predikat kalimat. Dalam tatabahasa struktur frasa, sebuah kalimat dikaidahkan sebagai FN + FV. Frasa Verbal (FV) adalah semua bagian predikat. Ciri dan bentuk verba menurut Alwi dkk. (1993) verba adalah kelas kata atau kategori kata yang ciri-ciri lengkapnya dapat diketahui dengan mengamati (1) bentuk morfologis, (2) perilaku sintaksis, (3) perilaku semantisnya secara menyeluruh dalam kalimat. Secara umum verba bahasa Indonesia dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain terutama dari ajektiva. Verba terutama mengadung makna keadaan, sering sulit dibedakan dari adjektiva karena kedua jenis kata itu mempunyai banyak persamaan. Ciri yang pada umumnya dapat membedakan keduanya adalah adjektiva dapat dibubuhi prefiks ter- yang berarti paling sedangkan verba tidak dapat. Ajektiva cantik dan kecil dapat dibentuk tercantik dan terkecil tetapi dari verba suka tidak dapat dibentuk tersuka. Frasa verbal yang atributif terdiri atas unsur pusat verba atau frasa verbal. Frasa verbal dapat bersifat koordinatif dan bersifat atributif (oka dan Suparno,1994:201). Frasa verbal bersifat koordinatif apabila terdiri atas dua unsur inti atau lebih yang semuanya berkategori verba atau frasa verbal. Hubungan koordinatnya lazim dieksplisitkan dengan koordinator contoh pulang pergi. Pada frasa pulang pergi terdiri atas unsur inti pulang dan pergi. Frasa verbal atributif terdiri atas unsur pusat verba atau frasa verbal dan atribut. Unsur atribut dapat berupa: 1) verba, contoh belajar menari; 2) frasa preposisional, contoh pulang dari pasar; 3) adjektiva, contoh berlari cepat; 4) frasa konjungsional, contoh pulang dengan berlari; 5) modal, contoh akan pulang. Tipe verba Halliday (1985) menyatakan `bahwa sifat fundamental bahasa adalah memungkinkan manusia untuk membangun sebuah gambar mental dan realitas, memberi makna terhadap pengalaman mereka tentang apa yang terjadi di sekeliling dan di dalam nya. Konsepsi Halliday dikatakan bahwa realitas terdiri atas segala sesuatu yang sedang berlangsung, yakni tindakan, kejadian, perasaan, dan keberadaan. Sesuatu yang sedang berlangsung itu dupisahkan dalam sistem semantik dan dinyatakan melalui tata bahasa frasa. Setiap bahasa memiliki cara yang berbeda dalam menyatakan proses relasional. Ketiga proses relasional itu adalah: 1. Intensif dinyatakan dengan menggunakan verba kopula adalah, ialah, merupakan, dan menjadi. Verba kopula dapat dielipskan. 2. Sirkumtansial dinyatakan verba kopula dan verba sirkumstansial seperti: berasal dari, menurut, dan sebagainya 3. Posesif dinyatakan dengan verba yang menyatakan kepemilikan seperti: punya, milik. Ketiga hal yang menyatakan proses relasional tersebut masing-masing dua tipe proses, yaitu: (1) mode atribut, (2) identifikasi. Hal ini tampak pada tabel 2.1 berikut: Tipe (1) intensif Mode Atributif Identifikasi Candra Kirana (adalah) Cantik sekali Inu Kertapati adalah putra mahkota (2) Sirkumtansial (3) Posesif Perlombaan itu berlangsung hari minggu. Nenek punya keong emas. Besok adalah hari minggu Keong emas itu milik nenek. Tabel 2.1 Struktur Atributif Frasa Verbal Dalam metode atributif, sebuah atribut dianggap berasal dari maujud baik sebagai kualitas (intensif), sebagai keadaan, tempat dan sebagainya. (sirkumtansial tidak langsung) atau sebagai pemilik (posesif). Secara struktural sebagai elemen proses dalam frasa atributif terdapat dua elemen, yaitu carrier dan atribut. Hal ini seperti dalam tabel berikut: Carrier Proses Atribut Atr.kualitas Sirkumtansial Posesif Candra Kirana Sang raja Nenek adalah bertahta punya cantik sekali di singgasana keong emas Tabel 2.2 Proses Frasa Atributif Dalam metode identifikasi satu maujud digunakan untuk mengidentifikasi maujud lain. Hubungan antara maujud itu adalah hubungan tanda dan nilai (intensif) dari fenomena dan hubungan sirkumstansial waktu, tempat, dan penyertaan. Secara struktural selain elemen proses, dalam frasa identifikasi terdapat dua elemen, yaitu identified (yang diidentifikasikan) dan identifier (pengidentifikasi) Hal ini tampak pada tabel berikut: identified Proses Identifier Tanda-nilai/intensif sirkumtansial Inu Kertapati Besok adalah adalah Putra mahkota tanggal sepuluh. Tabel 2.3 Elemen Proses Identifikasi C. Frasa Adjektival Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat (Alwi, 1998:71). Dengan kata lain, ajektiva yang memberi keterangan terhadap nomina berfungsi secara atributif. Keterangan itu dapat mengungkapkan suatu kualitas atau keanggotaan dalam suatu golongan. Hal ini ditemukan pada pemeri kualitas atau golongan, misalnya: kecil, berat, merah dan lain-lain. Ajektiva lazim disubkategorikan atas predikat dan atribut. Sejumlah ajektiva dapat dipakai baik secara predikatif maupun secara atributif, misalnya kata kurus (32b), marah (33b) sedangkan ajektiva lain dapat digunakan secara predikatif dalam contoh (32a) dan (33a). Pemakaian kata marah secara atributif hanya terbatas dalam rangkaian dengan nomina tertentu, seperti data (33c). (32) a. Anak itu kurus (predikatif) b. anak kurus itu (atributif) (33) a. Anak itu marah (predikatif) b. anak *marah itu (atributif) c. rasa marah (atributif) Sejumlah ajektiva seperti sedih dalam rangkaian dengan nomina tertentu hanya dapat digunakan secara predikatif tetapi dapat digunakan atributif padacontoh (35b). (34) a. anak itu sedih (predikatif) b. anak *sedih itu (atributif) (35) a. lagu itu *sedih (predikatif) b. lagu sedih (atributif) ajektiva selain berfungsi predikatif dan atributif dapat berfungsi sebagai predikat dan adverbial kalimat. Fungsi predikatif dan adverbial mengacu pada suatu keadaan. Contoh kata yang menunjukkan pemeri keadaan, yaitu mabuk, sakit, basah, baik dan sadar. Ajektiva dapat dikategorikan atas ajektiva berperingkat dan tidak berperingkat. Ajektiva digunakan dalam contoh (36) termasuk jenis ajektiva berperingkat dengan tes dirangkaikan dengan kata lebih, dalam pemakaian frasa lebih sakit, lebih kecil, lebih luas, dan lebih panjang sedangkan ajektiva yang digunakan dalam contoh (37) termasuk jenis ajektiva yang tidak berperingkat. Contoh sebagai berikut: a. sakit b. kecil (36) lebih c. luas d. panjang e. cepat a. sembuh b. asing (37) *lebih c. diam d. kosong e. penuh Menurut Thesaurus dalam Purwo (1994:180)ada 11 ciri semantis ajektiva, yaitu: (1) cognition mencakup term relation to human cognition status, contoh kata yakin, ragu, (2) affection mencakup term describing human emotions, contoh kata marah, bahagia, (3) perception, seperti kata manis, wangi, halus, (4) state, seperti kata lapar, beku, (5) value, seperti kata suci, agung, keramat, (6) evaluation mengacu pada kata bagus, buruk, jelek, (7) judgement, misalnya kata praktis, sederhana, (8) color ,misalnya, kata merah, hitam, (9) shapelform, misalnya : lonjong, bulat,(10) measurement misalnya kata dekat, lambat, panas, berat, (11) categorial, yaitu bentuk akjektiva (tidak monomorfemis) yang dasarnya berupa nomina, misalnya alamiah, potensial. Berdasarkan ciri semantis dapat disimpulkan bahwa ajektiva dapat dibedakan dengan kelas kata yang lain dengan menggunakan uji sintaktis sebagai berikut: (a) dapat bergabung dengan partikel tidak; (b) dapat mendampingi nomina; (c) dapat didampingi kata seperti lebih, sangat, dan agak. Uji sintaktis yang dijelaskan oleh Purwo lebih lanjut dipaparkan oleh Sumadi (1995:6) bahwa ciri sintaktis ajektiva dapat diidentifikasi dengan memperhatikan kemungkinan dapat didahului oleh kata tau diikuti kata yang lain dalam tataran frasa atau klausa. Ada lima ciri sintaktis ajektiva, yaitu: (1) didahului kata agak Contoh: agak bodoh, agak takut (2) didahului kata lebih contoh: lebih kaya, lebih tebal (3) didahului kata paling contoh: paling gemuk, paling miskin (4) didahului kata sangat contoh: sangat kurus, sangat keras (5) diikuti kata sekali contoh: mendongkol sekali, besar sekali D. Frasa Preposisional Unsur inti dalam frasa preposisional sebenarnya bukan preposisi anggota frasa itu melainkan nomina atau frasa nominal yang menyertai preposisi. Nama preposisi lazim dicirikan sebagai kategori yang hanya diikuti oleh nomina atau frasa nominal. Hal ini tampak pada contoh berikut: (38) kepada ibu (39) dari rumah Berdasarkan kedua contoh tampak bahwa preposisi kepada dan dari mendahului unsur inti nomina. Dalam bahasa Indonesia diperlihatkan adanya perubahan yang tengah berlangsung pada pemakaian preposisi dari dan bentuk yang lebih lama daripada. Perubahan yang dimaksud adalah penambahan makna yang glos Inggrisnya of pada makna yang lebih lama yang glos Inggrisnya from. Makna yang lebih lama mencakup beberapa aspek makna dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan from dan beberapa makna yang lain, seperti makna jarak dalam hal tempat dan waktu. Sejumlah makna dari diharapkan memarkahi “adjung” (adjunct) apakah makna verba pada contoh (40) dan (41) atau pada ajektiva pada contoh (43) dan (44) yang membuat problematic di dalam bahasa Indonesia dan contoh-contoh berikut dalam bentuk klausa. Selain itu dari juga memarkahi konstruksi adnominal (atributif) yang tidak berdiri sendiri seperti contoh (45) s. d (48) berupa frasa. (40) Ia menghindarkan dari wartawan. (41) Nyamuk ini berasal dari Afrika Timur (42) Kapasitas tersebut adalah lebih besar daripada kapasitas PLN (43) Masyarakat disini rata-rata bebas dari penyakit darah tinggi (44) Oven dari drum bekas (45) Air dari mata air (46) Polutan dari knalpot (47) Keterangan dari sumber ini Frasa yang berinduk nomina plus frasa berpreposisi yang adnominal disebut rangkaian N1+N2. Lebih lanjut “N2” juga dimaksud sebagai nomina atributif tanpa preposisi, dan sebagai frasa berpreposisi dalam fungsinya yang merupakan adjung. Dengan kata lain, N2 tanpa perlu harus bergantung pada N1. Pada contoh (40) s.d (47) merupakan asal dari N1 yang setara dengan status sebagai adjung seperti contoh (48) dan (49) (48) Indonesia akan mendatangkan pelatih renang dari Amerika (49) Kita menantikan laporan dari perwakilan kita di Jepang Berdasarkan kedua contoh tidak ada kesetaraan absolut antara kata-kata sebagai adjung dan sebagai adnominal dari “dari” + frasa nomina. Hal ini tampak dari kemungkinan ekstraposisi frasa “dari” + frasa nomina seperti dalam contoh (50) dan (51) yang tidak mutlak kehilangan keatributan (N2). (50) Dari Amerika Indonesia akan mendatangkan pelatih renang (51) Dari perwakilan kita di Jepang kita menantikan laporan Pada contoh di atas dari sebagai pemarkah atribut dalam pengertian yang lebih umum. Pemakaian adjungtif dari frasa nomina yang dimarkahi (daripada). Fungsi penting dari (pada) sebagai pemarkah atribut (N2) ialah untuk memarkahi N2 yang partitif dengan “induk penjangkah” (quantifying head) seperti pada kata beberapa, banyak, sedikit, sebagian, dan lain-lain. Dari (pada) hanya dapat dipakai untuk memarkahi komplemen yang dipilih dengan kendala tertentu seperti referen wacana, pronomina anforis (pada daripada, bentuk enklitik pronominal). Contoh sebagai berikut: (52) Beberapa dari mereka (53) Beberapa daripadanya (54) Banyak dari mereka (55) Banyak daripada mereka (56) Sedikit daripadanya (57) Sedikit dari semen itu Konstruksi dengan atribut yang dimarkahi dari (posesif, asosiatif, dan yang lain) digunakan secara struktural. Hal ini dibedakan menjadi tiga hal, yaitu: (1) memiliki N2 yang merupakan partikel yang direlatifkan atau merelatifkan dan diikuti oleh perelatifan (yang disebut N2 semu); (2) N2 terlalu dekat dengan N1 bagi persandingan (juxtaposition) untuk mempertahankan kemungkinan pemenggalan; (3) N2 terlalu jauh (TJ) dari N1 untuk mempertahankan kemungkinan pemenggalan tanpa pemerkahan dengan preposisi. N2 semu dalam contoh berikut: (58) Arti *(dari) apa yang dicapai (59) Sejumlah aspek *(dari) apa yang telah terjadi (60) Pengaruh *(dari) yang bersangkutan (61) Sebab-akibat *(dari) yang terjadi itu (62) Perilaku *(dari) yang dididik Tidak satupun di antara konstruksi berikut yang dapat dipotong-potong tanpa dari (pada) dan pada. Contoh: (63) pertanyaan lainnya *(dari) wartawan Fungsi dari itu sendiri terlalu kecil menurut ukuran fonologis untuk memisahkan pemilik dari termilik. Jenis lain perlunya “TJ” muncul dari struktural N2 sebagai salah satu seri dari dua atau lebih N atributif di dalam frasa nomina. Oleh karena itu, termasuk tipe [N1+Nx+N2]. Salah satu jenis konstruksi yang menarik dari tipe konstruksi ini terdiri atas N1 sebagai nomina tindakan yang diturunkan dari verba trasitif yang memiliki lebih dari satu atribut sebagai “argumen”. N2 yang harus dimarkahi dengan dari atau dengan beberapa preposisi lain yang sesuai dengan argumren N2 yang dipersoalkan (oleh atau mengenai atau menghadap). Perhatikan contoh berikut: (lihat Verhaar 1988:13) A: agen, P: pasien. (64) Penuduhan lurah [P] oleh bupati [A] (65) Penuduhan lurah [A] *terhadap bupati [P] (66) Penuduhannya [A] (terhadap bupati [P]) Verhaar (2000:408). E. Frasa Numeralia Numeralia adalah kategori yang dapat: (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan kata ‘tidak’ atau dengan kata ‘sangat’. Menurut Djajasudarma (1993:44) materi penelitian numeralia antara lain: 1. Numeralia takrif, yaitu numeralia yang menyatakan jumlah tertentu. Hal ini dapat dikategorikan dalam: (a) Numeral cardinal meliputi: (i) Bilangan penuh: satu, dua, tiga, empat (ii) Bilangan pecahan: ½ (setengah), ¼ (seperempat), dan seterusnya (iii) Bilangan gugus yang menyatakan kelompok bilangan, misalnya likur (antara 20 dan 30, contoh: selikur = 21) (b) Numeralia tingkat, yaitu numeralia yang melambangkan jumlah dan berstruktur (tingkat) misalnya kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. (c) Numeralia kolektif terjadi bila numeralia tingkat bergabung dengan nomina. Misalnya kedua orang itu……. 2. Numeralia tak takrif, yaitu numeralia yang menyatakan jumlah tak tentu misalnya: Beberapa pelbagai bebagai tiap-tiap Segenap sekalian semua sebagian Seluruh segala beberapa Secara semantis numeralia mengacu pada kuantitas yang meliputi: bilangan, jumlah, tingkat, dan kumpulan. Numeralia atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, barang) dan konsep. Frasa seperti lima hari, dua bulan, satu tahun merupakan frasa numeralia. Dalam frasa numeralia pada umumnya dibentuk dengan menambahkan kata penggolong. Frasa numeral beranggotakan numeral atau frasa numeralia sebagai unsur pusat. Frasa numeral atributtif terkandung unsur atribut. Dalam hal ini unsur atribut berupa kata bantu bilangan. Contoh: dua ekor (kerbau), lima orang (penjahat), tiga buah (rumah). Dalam bahasa Indonesia ada dua macam numeralia, yaitu (1) numeralia pokok dan (2) numeralia tingkat. Numeralia pokok adalah bilangan dasar yang menjadi sumber dari bilangan lain. Numeralia pokok terbagi menjadi: (a) pokok tentu, (b) kolektif, (c) distributif, (d) pokok tak tentu, (e) numeralia klitika, dan (f) numeralia ukuran. Penggunaan numeralia pokok dalam bahasa Indonesia ditempatkan di depan nomina dan dapat diselingi dengan kata penggolong seperti orang, ekor, dan buah dengan urutan: [numeralia-penggolong-nomina]. Contoh: tiga orang penyunting, dua ekor burung, dan lima buah mangga. Numeralia pokok dapat diubah menjadi numeralia tingkat dengan cara menambahkan ke- di muka bilangan yang bersangkutan. Contoh: kesatu atau pertama, kedua, ketiga, dan lain-lain. Menurut Kridalaksana (1986:77-78) dalam bahasa Indonesia numeralia dibedakan atas (1) numeralia yang menyatakan bilangan tertentu dan (2) numeralia yang menyatakan bilangan tak tentu. Numeralia jenis pertama disebut Kridalaksana dengan numeralia takrif sedangkan jenis kedua disebut numeralia tak takrif F. Frasa Atributif Pada penjelasan di awal telah diuraikan tentang atributif, struktur atributif dan distribusi atributif pada beberapa kelas kata. Sebuah kalimat terdiri atas kelompok substantif yang terbagi menjadi: (1) kelompok substantif yang tidak predikatif (atributif) dengan ciri tanpa jeda dan mempunyai tekanan pada bagian belakang, misalnya kotak cerutu, kotak merah dan (2) kelompok substantif + penjelasan (bersifat predikatif), misalnya ia berjalan, rumah kecil itu terbakar. Sesuai dengan konsep bahwa atributif adalah konstituen penjelas yang menerangkan nomina dalam frasa nominal, frasa verbal, frasa ajektival atau kelas kata lain yang mempunyai fungsi menjelaskan. Letak atribut dapat berada di sebelah kiri inti, di sebelah kanan inti atau mengapit inti. Dengan kata lain, unsur tambahan itu dapat terletak sebelum atau sesudah unsur pusat. Menurut Kridalaksana (1982:17) atribut adalah kata berkelas lain yang mepunyai fungsi menerangkan nomina dalam frasa nominal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Attributive is adjective (grammar) of adjectives; placed before the nouns they modify, “’red’ is an attributive adjective in ‘a red apple’”. G. Ciri dan Bentuk Struktur Atributif Frasa dalam Bahasa Indonesia Pada konsep telah dijelaskan bahwa atributif adalah konstituen penjelas yang menerangkan nomina dalam frasa nominal, frasa verbal, frasa ajektival atau kata kelas kata lain yang mempunyai fungsi menjelaskan. Ada beberapa ciri dan bentuk atributif dalam bahasa Indonesia 1. Struktur Atributif Frasa Nominal Dalam bahasa Indonesia terdapat pola frasa nominal sebagai berikut: 1. FN N1+N2+ …, maksudnya frasa nominal terdiri dari N1 berupa kata atau frasa nominal sebagai induk diikuti N2 berupa kata/frasa nominal sebagai induk. Jadi, semua unsur berupa kata/frasa nominal. Contoh: asas Pancasila, meja kayu, tukang besi 2. FN N+K, maksudnya frasa nominal terdiri atas N berupa induk diikuti K sebagai atribut. Contoh: hak memilih, batu bersurat 3. FN N1+se-N2+ dan se-, maksudnya frasa nominal terdiri atas N1 berupa induk diikuti se-N2 dan diikuti se- yang berfungsi atribut. Contoh: kawan separtai, undang-undang setempat, saudara-saudara sebangsa dan setanah air. 4. FN N + yang + K + .., maksudnya frasa nominal terdiri atas N berupa induk diikuti yang diikuti keterangan yang berfungsi sebagai atribut. Contoh: remaja yang mahasiswa, orang yang besar, harga yang ini. 5. FN N+klausa relatif + …, maksudnya frasa nominal terdiri atas N berupa induk diikuti klausa relatif yang berfungsi sebagai atribut. Contoh: pegawai yang rumahnya di luar kota, remaja yang kena pengaruhnya itu. 6. FN Num/F.Num + N ukuran+N/N + Num/F.Num+N ukuran, maksudnya frasa nominal terdiri atas N berupa induk didahului atau diikuti numeral/frasa numeral. Contoh: banyak orang orang banyak tiga liter air air tiga liter dua pucuk bedil bedil dua pucuk 7. FN Atr+N, maksudnya frasa nominal terdiri atas nomina didahului atribut. Contoh: kaum buruh, kaum wanita, para guru 8. FN Adv1+Adv2+N, maksudnya frasa nominal terdiri atas dua atribut berupa adverbial dan diikuti nomina. Contoh: bukan hanya mahasiswa. Hubungan atributif ditandai oleh subordinator yang. Ada dua macam hubungan atributif, yaitu: (a) restriktif dan (b) takrestriktif. Klausa yang dihasilkan sering pula disebut klausa relatif dengan kedua macam hubungan di atas. Hubungan atributif seperti ini dalam klausa relatif mewatasi makna dan nomina yang diterangkan. Dengan kata lain, bila ada suatu nomina yang mendapat keterangan tambahan yang berupa klausa relatif restriktif maka klausa itu merupakan bagian integral dari nomina yang diterangkan. Misalnya: Pamannya yang tinggal di Bogor meninggal kemarin. Klausa relatif yang tinggal di Bogor, ditulis di antara dua tanda mewatasi makna pamannya. Artinya pembicara mempunyai paman yang tinggal di Bogor. Klausa subordinatif yang takrestriktif hanya memberikan tambahan informasi pada nomina yang diterangkan. Jadi, tidak mewatasi nomina yang mendahului karena itu dalam penulisannya klausa diapit oleh tanda koma. Penulisan klausa restriktif dan takrestriktif sebagai berikuta: Misalnya: Istri saya yang tinggal di Bogor meninggal kemarin. Klausa relatif yang tinggal di Bogor tidak diapit oleh tanda koma. (Alwi, 2000:412) 2. Struktur Atributif Frasa Verbal Dalam bahasa Indonesia terdapat pola frasa verbal sebagai berikut: 1. FV aktif V aktif +N+K, maksudnya frasa verbal terdiri atas verba aktif diikuti nomina dan keterangan. Contoh: menjahit baju, memukul genderang perang 2. FV aktif V aktif + N +V lain, maksudnya frasa verbal terdiri atas verba aktif diikuti nomina dan verba lain. Contoh: menyuruh orang membaca 3. FV aktif V aktif + N1 + N2 – V aktif + N2 ± ({untuk, bagi, kepada} + N1), maksudnya frasa verbal aktif terdiri atas frasa verbal aktif diikuti N1 dan N2 bervariasi dengan verba aktif diikuti N2 dan N1. Contoh: menjahitkan ayah baju ~ menjahitkan baju untuk ayah Mengirim adik surat ~ mengirimkan adik surat 4. FV pasif V pasif ± oleh + ~ oleh+N + V pasif Contoh: dibeli oleh si miskin ~ oleh si miskin dibeli Terbaca oleh adik ~ oleh adik terbaca 5. FV pasif V pasif ± (+ dengan Aj+oleh+N) ~ oleh+N+V pasif ± (dengan + Aj), maksudnya frasa verbal pasif berupa verba pasif diikuti atau opsional dengan ajektiva diikuti oleh dan nomina bervariasi dengan oleh diikuti nomina verba pasif opsional dengan ajektiva. Contoh: dibeli dengan cepat oleh si miskin ~ oleh si miskin dibeli dengan cepat. 6. FV pasif V pasif + V, maksudnya frasa verbal pasif terdiri atas verbal pasif diikuti verba Contoh: diajak makan 7. FV ergatif V ergatif + N, maksudnya frasa verbal ergatif terdiri atas verba-verba ergatif diikuti nomina. Contoh: kecopetan dompet, kejatuhan bulan 8. FV ergatif kena + V dasar, maksudnya frasa verbal ergatif terdiri atas kata kena diikuti verba dasar. Contoh: kena marah, kena pukul 9. FV antipasif V antipasif + N, maksudnya frasa verbal antipasif terdiri atas verba antipasif diikuti nomina. Contoh: bertanam singkong 10. FV subordinatif V intr + V lain, maksudnya frasa verbal subordinatif terdiri atas verba intransitif diikuti verba lain. Contoh: pergi membeli gula, bangkit berdiri 11. FV koordinatif V1 + V2, maksudnya frasa verbal koordinatif terdiri atas V1 diikuti V2. Contoh: pulang pergi, makan minum 12. FV V + Aj. ~ Aj. + V, maksudnya frasa verbal terdiri atas verba diikuti ajektiva bervariasi dengan ajektiva diikuti verba. Contoh: berjalan cepat ~ cepat berjalan 13. FV Adv +V, maksudnya frasa verbal terdiri atas adverb diikuti verba. Contoh: saling mencintai, akan pergi 14. FV V +F Prep, maksudnya frasa verbal terdiri atas verba frasa preposisi. Contoh: ditarik ke atas 15. FV V tr tanpa me- + V, maksudnya frasa verbal terdiri atas verba transitif tanpa me- diikuti verba. Contoh: cob abaca, tolong ambilkan 3. Struktur Atributif Frasa Ajektival Dalam bahasa Indonesia terdapat pola frasa ajektival sebagai berikut: 1. FAj Adv + AJ, maksudnya frasa ajektival terdiri atas adverbia diikuti ajektiva. Contoh: alangkah indah, kurang manis, belum pasti 2. FAj Aj + Adv, maksudnya frasa ajektival terdiri atas ajektiva diikuti adverbia. Contoh: cantik nian, sungguh elok 3. FAj A + Adv ~ Ad + A, maksudnya frasa ajektival terdiri atas ajektiva diikuti adverbia atau adverbia diikuti ajektiva Contoh: elok sungguh ~ sungguh elok, nikmat juga ~ juga nikmat 4. FAj Adv1 + Adv2 + Aj, maksudnya frasa ajektival terdiri atas adverbia 1 diikuti adverbia 2 dan ajektiva. Contoh: agak lebih baik, amat sangat mahal, masih belum pasti 5. FAj Aj. + Num. + N, maksudnya frasa ajektival terdiri atas ajektiva diikuti numeralia dan nomina. Contoh: setia setiap saat, muda sepanjang masa 6. FAj Aj. + F Prep., maksudnya frasa ajektival terdiri atas ajektiva diikuti frasa preposisi. Contoh: jauh di mata, dekat di hati 7. FAj Adv + Aj. Interjeksi, maksudnya frasa ajektival terdiri atas adverbia diikuti ajektiva interjeksi. Contoh: agak wah, sungguh asyik 8. FAj Adv + Aj. Denominal, maksudnya frasa ajektival terdiri atas adverbial diikuti ajektiva denominal. Contoh: sangat ahli, lebih ilmiah, paling atas Dengan demikian, dalam membicarakan struktur atributif frasa ajektival ditemukan ada delapan pola frasa ajektival. BAB III FUNGSI ATRIBUTIF FRASA BAHASA INDONESIA Pada bab ini diuraikan mengenai fungsi atributif frasa bahasa Indonesia dengan beberapa fungsi. Uraian mengenai fungsi atributif frasa didasarkan fungsi penting sebagai pernyataan dan dasar pemahaman terhadap berbagai kemungkinan adanya beberapa fungsi frasa bahasa Indonesia. Hal-hal yang berhubungan dengan (1) fungsi atributif frasa bahasa Indonesia, (2) struktur atributif frasa nominal dalam bahasa Indonesia. (3) struktur atributif frasa verbal dalam bahasa Indonesia, dan (4) struktur atributif frasa ajektival dalam bahasa Indonesia. A. Fungsi Atributif Frasa Bahasa Indonesia Tiap kata atau frasa dalam kalimat memiliki fungsi mengaitkan kata dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Dalam bahasa Indonesia fungsi atributif menjelaskan unsur pusat/inti. Dalam konstruksi frasa ada unsur yang berlaku sebagai pusat/inti dan beberapa unsur lain sebagai atribut. Unsur pusat itulah yang menjadi konstruksi frasa baik dalam distribusi dan fungsinya. Secara umum struktur frasa atributif dalam bahasa Indonesia mempunyai berbagai variasi dan corak. Misalnya simbol yang digunakan adalah A (untuk atributif) dan I (untuk induk). Dalam hal ini ditemukan adanya penggunaan struktur: (1) atribut mendahului pusat dengan struktur: A I /Atribut + Induk, (2) atribut dibelakang pusat dengan struktur: IA Induk+Atribut, (3) atribut terpisah/terbagi dengan struktur: AIA/Atribut+Induk+Atribut, dan (4) induk terpisah/terbagi dengan struktur: IAI/ Induk+Atribut+Induk. Penggunaan keempat struktur atributif frasa bahasa Indonesia secara umum dapat dipaparkan seperti pada contoh dibawah ini. (1) Orang yang membuat (cikal bakal) desa Mojowarno adalah Kyai atau Ki Abisai Ditotruno. Ki Abisai Ditotruno dulu konon katanya adalah anak buah atau pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri dari kejaran kompeni Belanda. Mereka saban bulan mengadakan selamatan desa. (2) Mereka berjalan bertiga mengembara dan untuk mencari kayu dihutan, kemudian dalam perjalanan itu mereka merasa lelah kemudian menemukan sebuah dataran tinggi dan ditempat itu ternyata terdapat sendhang kecil yang airnya sangat jernih, karena mereka merasa haus sekali setelah mengadakan perjalanan yang panjang sehingga mengambil air itu dan meminumnya. (3) Sebab itu ada sebagian orang pada zaman dulu menganggapnya pohon angker. Tapi bagi orang yang yahan buahnya dapat mereka makan tanpa menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan. Dengan memotong sebuah pohon Mahoni itulah… (4) Konon kata almarhum Ditotruno mendiang sebagai cikal bakal desa Mojowarno beliau juga sebagai cikal bakal dari berdirinya GKJW Mojowarno. Makam dari Ditotruno kurang lebih 200 m dari pasar Mojowarno dan hanya satu-satunya makam orang Kristen Jawa diseluruh Jawa Timur yang terawatt dengan baik. Pada data (1) frasa saban bulan merupakan merupakan konstruksi frasa atributif dengan struktur: kata saban berfungsi sebagai inti. Dengan demikian, struktur atributif frasa saban bulan adalah AI/ Atributif+Induk. Berbeda dengan data (2) frasa haus sekali merupakan frasa atributif dengan struktur kata haus berfungsi sebagai induk yang mendahului sekali yang berfungsi sebagai atribut. Jadi, struktur atributif frasa haus sekali jika dibuat pola adalah IA/ Induk+Atribut. Pada data (3) dan (4) baik inti dan atribut masing-masing terpisah atau terbagi oleh dua induk atau dua atribut. Pada data (3) frasa sebuah pohon mahoni merupakan konstruksi frasa atributif dengan struktur kata sebuah berfungsi sebagai atribut yang terletak mendahului inti dan kata mahoni sebagai atribut yang berada di belakang kata pohon yang berfungsi sebagai inti. Dengan demikian, jika dipolakan menjadi AIA/ Atributif+Induk+Atributif. Pada data (4) frasa almarhum Ditotruno mendiang merupakan konstruksi frasa atributif dengan struktur kata almarhum berfungsi sebagai inti yang terletak mendahului kata Ditotruno sebagai atribut dan diikuti dengan kata mendiang yang berfungsi sebagai induk. Dengan demikian, pada data (3) dan (4) tampak adanya struktur atribut terbagi dengan pola IAI/ Induk+Atribut+Induk. Maksudnya, induk diikuti atribut dan diikuti induk. Berdasarkan temuan data ditemukan pola frasa atributif dengan struktur sebagai berikut: (1) AI / Atribut+Induk (2) IA / Induk+Atribut (3) AIA / Atribut+Induk+Atribut (4) IAI / Induk+Atribut+Induk B. Fungsi Atributif Frasa Nominal Bahasa Indonesia Frasa nominal merupakan frasa yang unsur inti berupa nomina atau frasa nominal. Frasa nominal bersifat atributif apabila unsur inti berupa nomina atau frasa nominal. Sebuah atribut dapat berada sebelum inti atau mengikuti inti. Atribut dalam frasa nominal dibedakan: (1) nomina, (2) verba, (3) partikula, (4) numeral, dan (5) ajektiva. 1. Unsur pusat N + atribut N Struktur frasa nominal terdiri dari unsur pusat nomina dan atribut nomina. Hal ini ditemukan pada contoh berikut: (5) Pada pagi harinya menjelang subuh Liring kuning keluar berjalan-jalan karena mengantuk secara tidak sengaja telah menginjak jejak kaki kerbau dan akhirnya terjatuh. (6) Rumah gubug glandangan ini berada di pinggiran pesisir kali brantas. (7) Sedang di sisi lain, Rara Sumini yang putrid seorang Demang di daerah Kediri juga sangat ingin sowan dan berkenalan dengan orang tua Guna Sentika di Kutaraja Majapahit yang konon seorang pejabat di lingkungan istana, dan dekat dengan keluarga raja. (8) Ketika mengetahui ada yang terjun ke dalam air sendang adalah momongan putrinya, Rara Sumini, Ki Jaga Karya segera meminta kepada Guna Sentika agar memanggilnya dan menyuruhnya segera menepi, dengan alasan bahwa daerah tersebut masih termasuk wingit (baca: angker) maka mereka harus sedikit banyak berhati-hati. (9) Keesokkan harinya, rombongan yang dipimpin oleh Ki Jaga Karya hanya menemukan tumpukan pakaian Guna Sentika dan Rara Sumini, sedangkan mereka berdua seperti lenyap ditelan bumi. Berdasarkan data (5) s.d (9) tampak adanya berbagai fungsi struktur atributif pada frasa nominal. Pada data (5) frasa kaki kerbau mempunyai struktur kaki sebagai inti sedangkan kerbau sebagai atribut. Fungsi atribut kata kerbau pada frasa kaki kerbau adalah menjelaskan inti frasa kata kaki. Data (6) rumah gubug mempunyai struktur gubug sebagai atribut yang menjelaskan rumah sebagai inti dalam frasa rumah gubug. Dengan demikian, fungsi atribut kata gubug adalah menjelaskan inti kata yang berada di depan. Begitu juga data (7) frasa keluarga raja memiliki struktur keluarga sebagai inti sedangkan raja sebagai atribut. Fungsi atribut kata raja adalah menjelaskan inti kata keluarga. Hal ini berlaku juga pada data (8) dan (9) yaitu pada frasa air sendang dan frasa tumpukan pakaian yang memiliki struktur inti diikuti atribut. Fungsi kata sendang sebagai atribut yang menjelaskan inti kata air. Hal ini sama seperti fungsi kata pakaian sebagai atribut menjelaskan inti kata pakaian. Dengan demikian, fungsi kata kerbau, gubug, raja, dan sendang sebagai atribut nomina adalah menjelaskan inti kata nomina dalam frasa nominal sehingga dapat dirumuskan dengan struktur I (N) + A (N). maksudnya, inti kata berupa nomina diikuti atribut nomina. 2. Unsur pusat N + atribut V Struktur frasa nominal mem[unyai unsur pusat nomina dan atribut verba. Hal ini ditemukan pada contoh berikut: (10) Utusan datang lagi ke Kyai Mochtar akan meminta lagi dan Kyai Mochtar meminta utusan itu untuk membawa Kebo Kicak ke Banyuarang tetapi dijawab oleh utusan bahwa Kebo Kicak tidak mungkin dibawa karena untuk digerakkan saja sudah merasa kesakitan. Hasil penelitian frasa nominal dengan struktur nomina diikuti verba hanya ditemukan satu data cerita rakyat. Berdasarkan data (10) tampak adanya penggunaan frasa nominal dengan struktur kata utusan berfungsi sebagai inti yang diikuti kata datang. Fungsi atribut datang adalah menjelaskan inti kata utusan pada frasa nominal. Dengan demikian, sebagai atribut verba kata datang menjelaskan inti kata nomina pada frasa nominal jika dibuat struktur yaitu: I (N) + A (V). 3. Unsur pusat N + atribut partikula Struktur frasa nominal yang mempunyai unsur pusat nomina dan atribut partikula ditemukan pada contoh berikut: (11) Suatu ketika si perempuan ini sedang mandi di sungai brantas dekat desa itu. (12) Sedang beberapa jam kemudian sang laki-laki (mas nganten) mencari pinggiran sungai setelah tidak akan menemukan kemudian mencari di rumah-rumah tangga hingga sampailah ke rumah buaya putih berwujud manusia menanyakan di mana keberadaan istrinya. Berdasarkan data (11) dan (12) tampak digunakan atribut partikula sebelum inti kata. Struktur kedua frasa pada data adalah fungsi atribut partikula (si dan sang) diikuti inti kata perempuan dan laki-laki. Fungsi atribut partikula pada kata si pada kata si perempuan adalah menjelaskan atau sebagai partikel dari inti kata yaitu kata perempuan. Hal ini berlaku sama dengan data (12) frasa sang laki-laki dengan atribut sang sebagai partikula yang mempunyai fungsi menjelaskan sebelum inti kata laki-laki. Dengan demikian, fungsi struktur atributif pada frasa nominal dengan atribut partikula dan inti nomina jika dibuat rumus yaitu: I (N) + A (partikula). 4. Unsur pusat N + atribut numeralia Frasa numeral beranggotakan numeral atau frasa numeral sebagai unsur inti. Struktur frasa nominal yang mempunyai unsur pusat nomina dan atribut numeralia ditemukan pada contoh berikut: (13) Pada zaman dahulu kala di sebuah desa di sebelah barat daya Mojopahit tepatnya sekarang di daerah kecamatan Mojowarno dan sekitarnya masih berupa hutan lebat dan hutan itu merupakan sebuah dataran tinggi yang orang dulu menyebutnya dengan puthuk dan di puthuk itu terdapat sendang (telaga) kecil yang airnya sangat jernih sekali. (14) Tersebutlah sepasang pengantin baru yang baru sepasar (Indonesia: lima hari) menikah bernama Guna Santika dan Rara Sumini. (15) Di sisi lain, ia juga merasa bahwa keselamatan kedua momongannya ini merupakan tanggung jawabnya (gambaran abdi yang setia menjalankan tugas dan kewajiban). (16) Pada zaman dahulu kala di sebuah desa di sebelah barat daya Mojopahit tepatnya sekarang di daerah kecamatan Mojowarno dan sekitarnya masih berupa hutan lebat dan hutan itu merupakan sebuah dataran tinggi yang orang dulu menyebutnya dengan puthuk dan di puthuk itu terdapat sendang (telaga) kecil yang airnya sangat jernih sekali. (17) Di sanalah lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Wandan Manguri. Pada contoh (13) s.d (17) tampak digunakan beberapa atribut nomina yang mewatasi unsur pusat nomina. Sebagai atribut nomina yang berupa numeralia berfungsi untuk mewatasi inti nomina. Pada frasa numeral yang bersifat atributif, unsur atribut berupa numeralia/kata bantu bilangan. Data (13) frasa sebuah memiliki pola sebuah sebagai atribut numeralia yang mewatasi inti kata desa. Begitu juga pada data (14) frasa sepasang pengantin memiliki struktur sebuah inti kata pengantin dengan diwatasi oleh atribut numeralia sepasang. Fungsi atribut numeralia kata sepasang mewatasi inti kata pengantin. Hal ini berlaku juga pada frasa (15) kedua momongannya memiliki struktur kata terdiri dari unsur kedua sebagai atribut numeral dan unsur inti momongannya. Fungsi atribut numeral kedua adalah mewatasi induk kata pengantin. Pada contoh (16) dan (17) frasa sebuah dataran dan frasa seorang anak terdiri dari unsur kata sebuah sebagai atribut dan kata dataran merupakan inti frasa. Begitu juga data (17) seorang anak terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pertama atribut numeral kata seorang dan inti kata anak. fungsi atribut kata sebuah dan seorang adalah menjelaskan inti kata dataran dan anak. dengan demikian, jika dibuat pola fungsi struktur atribut numeralia pada frasa nominal adalah: A (numeralia) + I N. 5. Unsur pusat N + atribut ajektiva Struktur frasa nominal yang mempunyai unsur pusat nomina dan atribut ajektiva ditemukan pada contoh berikut: (18) Sumur yang ada di tengah-tengah desa itu dikatakan yang laki-laki dan yang dipojok desa adalah perempuan dan sumur itu disebut sumur Windu atau sumur kuno. (Sakdurunge aku ono iku wis mesti wis ono sumur iku). (19) Seiring dengan waktu Wandan Manguri tumbuh dewasa menjadi gadis cantik dan karena kecantikannya itu Wandan Manguri cepat tersohor. (20) Karena Kebo Kicak dari dulu mempunyai pikiran yang cerdas maka hampir semua ilmu Kyai Mochtar dapat diterima dan dicerna dengan baik. (21) Sepasang pengantin baru ini yang tengah dalam perjalanan menuju ke rumah orang tua Guna Sentika (Jawa: Sambang), yakni mertua Rara Sumini di Kutaraja Majapahit. (22) Si perempuan tidak tahu kalau ada buaya putih di situ, kemudian si perempuan berubah wujud menjadi ayam betina putih mulus dan buaya putih tadi berubah wujud menjadi manusia dengan keberadaannya itu buaya putih berbaur di desa pinggiran sungai itu. (23) Konon di jaman Mojopahit daerah kecamatan Jogoroto dan sekitarnya masih berupa hutan lebat dan penuh dengan onak serta duri. Berdasarkan contoh (18) s.d (23) ditemukan berbagai penggunaan atribut pada frasa nominal. Sebagai inti kata pada frasa ajektival tampak adanya struktur nomina sebagai inti diwatasi oleh atribut ajektiva yaitu kuno yang terdapat pada contoh: kuno (18), dan cantik (19), cerdas (20), baru (21), putih (22), dan lebat (23). Sedangkan pada contoh (19) frasa sumur kuno terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pertama kata sumur sebagai inti nomina dan unsur kedua kata kuno sebagai atribut ajektiva. Fungsi atribut kuno sebagai penjelas yang menjelaskan inti kata. Pada contoh (20) frasa gadis cantik terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pertama kata gadis sebagai inti nomina dan unsur kedua kata cantik sebagai atribut ajektiva. Fungsi atribut kata cantik sebagai pewatas yang mewatasi inti nomina. Hal ini berbeda jika contoh pada (20) frasa pikiran yang cerdas merupakan frasa dengan atribut ajektiva. Penyambungan antara nomina induk dan atribut non-nominal dapat bersifat rapat sehingga konstituen perangkai tidak diperlukan seddangkan bila penyambungan tersebut tidak begitu rapat maka konstituen perangkai dipakai secara opsional. Dan coba kita lihat pada contoh (20) pemakaian frasa anak yang cerdas menggunakan perangkai yang bersifat opsional karena tanpa menggunakan perangkai yang struktur frasa sudah berterima. Dengan demikian, jika dibuat pola fungsi atribut ajektiva yang menjelaskan inti kata nominal adalah: I (N) + yang + A (aj). Demikian pula pada contoh (21) sampai dengan (23) mempunyai struktur sama, yaitu frasa yang terdiri dari dua unsur yaitu inti nominal dan atribut ajektiva. Hal ini dapat dijumpai pada contoh (21) pengantin baru terdiri dari dua unsur inti nomina kata pengantin dengan atribut ajektiva kata baru. Begitu juga frasa (22) buaya putih merupakan frasa nominal dengan inti nomina kata buaya dan atribut ajektiva kata putih. Dan contoh (23) hutan lebat merupakan frasa dengan unsur inti kata hutan dan atribut ajektiva kata lebat. Dengan demikian, jika dibuat pola fungsi struktur atribut pada frasa nominal adalah: I (N) + A (aj). C. Fungsi Atribut Frasa Verbal Bahasa Indonesia Verba adalah salah satu kategori kata yang mengisi P pada kalimat verbal. Verba dapat dikenali melalui beberapa hal antara lain: bentuk, fungsi, sintaksis, dan semantik. Dilihat dari segi bentuk verba dapat dikelompokkan menjadi verba berafiks dan verba tidak berafiks. Dilihat dari segi fungsi verba memiliki fungsi utama sebagai predikat dalam kalimat atau klausa (Alwi, 1998:87). Verba di samping itu mempunyai fungsi sebagai atribut. Misalnya: Ia akan mendaftar ujian terbuka, verba mendaftar sebagai inti sedangkan kata terbuka berfungsi sebagai atribut terhadap nomina ujian. Frasa verbal memiliki unsur pusat verba atau frasa verbal. Dilihat dari strukturnya frasa verbal terdiri atas verba inti dan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba. Frasa verbal bersifat atributif jika terdiri dari unsur pusat verba dan atribut yang ditempatkan di muka atau belakang verba inti. Unsur atribut berupa: (1) verba, (2) ajektiva, (3) konjungsional, dan (4) modal dan aspek. 1. Unsur pusat V + atribut V Struktur frasa verbal yang mempunyai unsure pusat verba dan atribut verba ditemukan pada contoh berikut : (24) Setelah bangun mereka merasa kerasan atau betah tinggal disitu dan tidak bisa pulang lalu mereka berpamitan kepada keluarganya untuk kembali ke tempat itu. (25) Setelah kembali dari gunung Pucangan Surontanu kembali menemui Kebo Kicak dan menantangnya. (26) Berdasarkan kepercayaan sumur windu itu diyakini bisa digunakan sebagai pertolongan atau sebagai obat, siapa yang sakit atau terkena musibah bisa mengambil air di sumur itu untuk diminum dan bisa sembuh, orang yang meminum air itu tidak dari orang yang berada di desa itu saja tetapi dari daerah yang lain yaitu orang yang sakit dan mendapat mimpi atau ilham dari dewa yang diyakininya untuk mengambil air di sumur itu karna obat sakit itu ada disana, maka orang yang mengambil ilham itu pergi ke desa Kembang Sore. (27) Dengan tidak diakui bahwa ayam itu bukan miliknya buaya putih berwujud manusia itu menyembelih ayam tersebut memasak dan menghidangkan setelah jam 12 tepat, sang laki-laki menyantap makanan dengan lahap hingga ia memakan kaki ayam itu lalu ia melihat ada cincin kawin di kaki ayam tersebut dengan heran ia menanyakan pada pemilik rumah. Bukankah ini cicin kawin milik istriku? Oleh karena itu, berdasarkan contoh diatas (24) dan (27) tampak digunakan atrubut verba pada frasa verbal. Fungsi atribut verba adalah mewatasi atau menjelaskan inti kata nomina. Hal ini tampak juga pada contoh (24) frasa betah tinggal memiliki struktur didahului atribut betah dan diikuti kata tinggal sebagai inti frasa. Begitu juga dengan contoh (25) frasa kembali menemui mempunyai struktur terdiri dari unsure verba kembali sebagai atribut dan unsur menemui sebagai unsur inti. Sedangkan pada contoh (26) s.d (27) struktur frasa verba dengan pola atribut unsur verba berada mendahului pusat yang berunsur verba. Frasa bisa digunakan (26) terdiri dari dua unsur bisa sebagai atribut dan unsur inti digunakan. Pada data (27) frasa cincin kawin terdiri dari dua unsur, yaitu cincin sebagai inti diwatasi oleh kawin sebagai atribut. Dengan demikian, struktur atribut dapat menjelaskan unsur pusat yang mempunyai posisi dapat diawal dan diakhir sehingga ada dua pola yang ditemukan, yaitu: (1) I (V) + A (V) dan (2) A (V) + I (V). 2. Unsur pusat V + atribut Aj (ajektiva) Struktur frasa verba yang mempunyai unsur pusat verba dan atribut ajektiva ditemukan pada contoh berikut: (28) Di suatu hari ada orang yang baru menikah (penganten anyar) perempuan (mbah nganten) dan mas nganten pria (29) Mereka berjalan bertiga mengembara dan untuk mencari kayu di hutan, kemudian dalam perjalanan itu mereka merasa lelah kemudian menemukan sebuah dataran tinggi dan di tempat itu ternyata terdapat sendhang kecil yang airnya sangat jernih, karena mereka merasa haus setelah mengadakan perjalanan yang panjang sehingga mengambil air itu dan meminumnya (30) Setelah patah kemudian putri Cempa membawanya ke tukang emas itu bahkan setelah perhiasan itu diperbaiki dan sudah jadi kemudian dibawa pulang oleh putri Cempa namun dalam perjalanan pulang ketika sampai di pintu masuk desa itu putri Cempa mematahkan kembali perhiasan yang telah jadi tadi karena perasaan cinta kepada orang yang memperbaiki emas tadi (31) Seiring dengan waktu Wandan Manguri tumbuh dewasa menjadi gadis cantik dan karena kecantikannya itu Wandan Manguri cepat tersohor (32) Ia baru sadar bahwa dulu pernah memberikan Aji Ponco kepada Kebo Kicak tidak akan terkalahkan olehnya. Surontanu pergi ke gunung Pucangan untuk menemui gurunya Ki Gede Kates. Jika kita memerhatikan pada contoh (28) sampai dengan (32) adalah contoh penggunaan frasa verbal dengan unsur pusat verba dan atribut adjektiva. Hal ini tampak pada penggunaan data (28) frasa baru menikah memiliki susunan unsur atribut adjektiva baru mendahului unsur inti verba menikah dengan struktur A(Aj)+I (V). Hal ini berbeda dengan contoh (29) frasa perjalanan yang panjang memiliki struktur terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pusat kata perjalanan dan atribut kata panjang. Antara unsur pusat dan atribut dirangkaikan dengan kata penghubung yang. Sehubungan dengan kaidah penyambungan bahwa antara verba induk dan atribut non verbal dapat bersifat rapat sehingga konstituen perangkai tidak diperlukan sedangkan bila penyambungan tersebut tidak begitu rapat maka konstituen perangkai dipakai secara opsional. Pada contoh (29) pemakaian frasa perjalanan yang panjang menggunakan perangkai yang bersifat opsional karena tanpa menggunakan perangkai yang struktur frasa sudah berterima. Dengan demikian, fungsi atribut adjektiva adalah menjelaskan inti verba. Pada contoh (30) sampai dengan (32) frasa perasaan cinta memiliki struktur kata perasaan sebagai induk yang diikuti oleh kata cinta sebagai atribut yang mempunyai fungsi menjelaskan unsur pusat kata perasaan. Pada data (31) frasa cepat tersohor merupakan frasa dengan pola atribut mendahului unsur pusat verba. Begitu juga dengan pemakaian frasa baru sadar memiliki struktur unsur pusat frasa verbal adalah kata sadar dengan atribut ajektiva kata baru. Dengan demikian, ada dua pola untuk unsur pusat V atribut ajektiva, yaitu: A(Aj)+I(V) dan I(V)+A(Aj.) 3. Unsur pusat V + atribut frasa konjungsional Struktur frasa verbal yang mempunyai unsur pusat verba dan atribut frasa konjungsional ditemukan pada contoh berikut: (33) Sumur Windu berbeda dengan sumur-sumur seperti biasanya karena sumur Windu itu bagian bawahnya berbentuk persegi empat, dan terdapat keanehan pada sumur itu karena sumur itu tidak bisa ditutup dengan tanah atau dengan apa saja, meskipun sudah ditutup sumur itu tetap berlubang dan meskipun ditanami apa saja bisa tumbuh dengan subur serta di dalamnya terdapat benda logam berharga (emas), kalaupun benda berharga itu telah diambil orang maka di dalam sumur itu tetap ada benda berharga tersebut. Pada contoh (33) tampak penggunaan frasa tumbuh dengan subur terdiri dari unsur verba tumbuh sebagai inti yang diikuti dengan frasa dengan subur sebagai atribut frasa konjungsional. Sebagai unsur inti atribut verba kata tumbuh dirangkaikan dengan atribut frasa konjungsional dengan subur. Dengan demikian, struktur frasa verba dengan unsur pusat verba dengan atribut konjungsi dapat dibuat pola struktur: I(V)+A (frasa konjungsional) yang artinya Induk verba diikuti atribut berupa frasa konjungsional. Hasil penelitian hanya ditemukan satu data dengan unsur pusat V + atribut frasa konjungsional. 4. Unsur pusat verba + atribut model/aspek Atribut berada di depan verba inti dinamakan atribut depan sedangkan atribut yang berada di belakang dinamakan atribut belakang. Atribut depan verba terdiri 3 kelompok, yaitu: (1) verba bantu, (2) modal/aspek, dan (3) pengingkar. Hal ini seperti dijelaskan oleh Alwi (1998:158) bahwa frasa verbal yang indosentrik atributif terdiri dari inti veerba dan pewatas (modifier) yang ditempatkan dimuka atau dibelakang verba inti. Pewatas yang ada didepan dinamakan pewatas depan sedangkan yang ada dibelakang dinamakan pewatas belakang. Salah satu kata yang dapat berfungsi sebagai atribut depan adalah: akan, harus, dapat, bisa, boleh suka, ingin, dan mau. Dilihat dari urutan penggunaan atribut depan bersifat konsisten, misalnya akan selalu mendahului yang lain, kata harus mendahului dapat (bisa), boleh, suka, ingin, dan mau. Urutan atribut seperti pada tabel 3.1 berikut: Verba bantu 1 2 3 akan harus Dapat Bisa Boleh Suka Ingin mau Table 3.1 Urutan Atribut Verba pada tabel 3.1 tampak adanya urutan atribut verba yang bersifat konsisten. Kata akan berada di kolom (1) mendahului kata yang berada di kolom (2) kata harus atau kolom (3) kata dapat, bisa, boleh, suka, ingin, dan mau. Begitu juga kata harus yang berada di kolom (2) mendahului kata-kata yang berada di kolom (3). Penggunaan atribut depan yang berfungsi sebagai verba bantu hal ini sebagai berikut: (34) Berdasarkan kepercayaan juga bahwa siapa saja yang berasal dari Kembang Sore lalu berbuat kesalahan atau sampai mencemarkan nama desa Kembang Sore maka akan mendapat balasan atau bendhu dari pihak lain, dan barang siapa berbuat keonaran di desa itu maka akan celaka. (35) Beliau harus memberitahukan kepada mbah Pranggang bahwa raja Brawijaya mempunyai selir yang bernama Wandan Kuning karena mbah Pranggang dianggap sebagai orang yang bijaksana maka prabu Brawijaya menyerahkan selirnya Wandan Kuning kepada mbah Pranggang dengan harapan selirnya dirawat sebagaimana mestinya. (36) Seorang pemuda di desa lain yang bernama Joko Kapringan atau Sodo Diring bermain ke Dapur Kejambon. Kebetulan dia mengenal mbah Pranggang sehingga iapun dapat mengenal Wandan Manguri namun Sodo Diring tidak berani mengungkapkan perasaannya itu kepada mbah Pranggang juga kepada Wandan Manguri. (37) Dia akan harus dapat memperdalam ilmu kanuraga. Dia sering berburu dihutan-hutan. Setibanya di Dapur Kejambon dia mengenal mbah Pranggang sekaligus Wandan Manguri. (38) Kyai Mochtar mendesak Kebo Kicak agar mau pulang dengan mengatakan “Kamu harus pulang karena kamu demang. (39) Akhirnya Kyai MOchtar menyuruh utusan akan mengikat Kebo Kicak yang kemudian ditarik oleh 4 ekor kuda ke Banyuarang dan Kyai Mochtar menjelaskan bahwa itulah satu-satunya obat bisa menyembuhkan Kebo Kicak maka Kebo Kicak mau saja. Berdasarkan contoh (35) dan (39) tampak fungsi atributif dengan pemakaian atribut verba akan yang berada di depan inti kata mendapat (35). Begitu juga pada data (39) frasa akan mengikat dengan atribut akan berada di depan inti. Fungsi atribut akan yang berada di depan seperti dikatakan oleh Alwi (1998:158) berfungsi sebagai pewatas di depan verba inti. Seperti dijelaskan pada tabel 3.1 bahwa urutan atribut verba berada diurutan pertama sebelum verba inti sehingga jika dibuat pola adalah: A {verba bantu (akan)} + I(V). Coba kita lihat pada contoh sebagai berikut (36) pemakaian frasa harus memberitahukan memiliki perilaku berbeda dengan contoh (35) dalam hal urutan pemakaian verba bantu dalam frasa. Sama dalam fungsi sebagai verba bantu pada contoh (36) dan (38) digunakan atribut harus sebagai pewatas sebelum inti kata memberitahukan. Sebagai atribut di depan inti frasa kata memberitahukan maka fungsi verba bantu adalah untuk penjelas inti kata. Begitu juga pada frasa (38) harus pulang memiliki unsur atribut verba harus dan inti kata pulang yang berkategori verba. Dengan demikian, jika dibuat pola adalah: A {V bantu (harus)} + I(V). Sedangkan pada contoh (37) frasa dapat mengenal merupakan penggunaan frasa dengan atribut verba di depan inti verba. Frasa dapat mengenal terdiri dari dua unsur, yaitu atribut kata dapat dan unsur inti kata mengenal. Sesuai bagan urutan atribut verba maka atribut dapat menempati urutan kata ketiga setelah urutan atribut kata akan dan dapat. Dengan demikian, jika dipolakan adalah: A {verba (dapat)} +I(V). Pada contoh (38) sebagai verba bantu digunakan kata dapat sebagai atribut yang mendahului inti kata mengenal dalam frasa verbal. Selain digunakan salah satu atribut pada contoh (38) juga dijumpai pemakaian ketiga verba bantu secara bersama-sama. Ketiga verba bantu akan, harus, dapat digunakan sebagai atribut mendahului inti kata memperdalam. Selain verba bantu pada frasa verbal ditemukan adanya kelompok kata lain yang disebut aspek. Comrie mendefinisikan aspek sebagai cara berbeda dalam memandang konstituenti temporal suatu situasi. Situasi digunakan sebagai istilah umum yang dapat mengacu kepada keadaan (state), peristiwa (event), dan proses (proces) (Comrie, 1981:3). Menurut Samsuri (1983:252) bahasa-bahasa bukan fleksi seperti bahasa Indonesia tidak menggunakan perubahan morfologi untuk menyatakan aspek, melainkan partikel-partikel yang menunjukkan keadaan, peristiwa, atau perbuatan. Dalam bahasa Indonesia partikel yang menyatakan aspek adalah: telah, tengah, sudah, sedang, dan lagi. Dalam hal ini aspek bertindak sebagai atribut di depan verba yang bergabung dengan verba bantu seperti pada tabel 3.2 berikut: Aspek Sudah Inti Sedang Telah Tengah lagi Tabel 3.2 Urutan Aspek Berdasarkan tabel 3.2 ditunjukkan adanya urutan atributif verba. Menurut Alwi (1998:157) ada kelompok kata lain dinamakan aspek yang bertindak sebagai pewatas di depan verba dan dapat bergabung dengan verba bantu. Kelompok aspek terdiri dari dua kata, yaitu sudah dan sedang. Kata telah, tengah, dan lagi dianggap varian stilistis dari kata sudah dan sedang. Penggunaan atribut verba tampak pada contoh berikut: (40) Siapa yang membimbing masyarakat kata Kyai mochtar? Dan ketika Kebo Kicak sudah pulang maka digantikan oleh anak perempuannya yang bernama Wandan Wangi hasil pernikahannya dengan Wandan Manguri. (41) Karena Kebo Kicak selaku Demang di Dapur Kejambon maka semua orang tengah mencarikan obatnya, tapi obat apapun tidak harus menyembuhkannya sehingga pada akhirnya anggota keluarga memintakan obat ke Banyuarang kepada Kyai Mochtar. (42) Dapur Kejambon lagi terkena wabah dan Kebo Kicak jatuh sakit. Berdasarkan pada contoh (40) sampai dengan (42) tampak adanya beberapa penggunaan aspek yang berada sebelum inti. Sedangkan pada contoh (40) frasa sudah pulang terdiri dari dua unsur kata sudah yang memiliki fungsi sebagai atribut sedangkan kata pulang berfungsi sebagai inti frasa verbal. Sebagai inti frasa kata pulang didahului atribut depan yang dinamakan aspek. Begitu juga pada contoh (41) frasa tengah mencarikan memiliki struktur: tengah (aspek) + mencarikan (verba) dengan fungsi kata tengah sebagai atribut dan kata mencarikan sebagai inti frasa verbal. Hal ini ditemukan juga pada contoh (42) frasa lagi terkena mempunyai struktur: lagi (aspek) + terkena (verba) dengan fungsi kata lagi sebagai atribut sedangkan kata terkena sebagai inti frasa verbal. Dalam kajian ini ditemukan adanya kombinasi antara pewatas verba bantu ddengan aspek yang berperan sebagai pewatas depan dan pewatas belakang. Hal ini tampak dalam data sebagai berikut: (43) Utusan datang lagi ke Kyai Mochtar akan meminta lagi dan kyai Mochtar meminta utusan itu untuk membawa Kebo Kicak ke Banyuarang tetapi dijawab oleh utusan bahwa Kebo Kicak tidak mungkin dibawa karena untuk digerakkan saja sudah merasa kesakitan. Misalnya pada contoh (43) tampak bahwa ada dua kombinasi atribut yang digunakan sekaligus dengan struktur mendahului inti dan mengikuti inti. Dilihat dari fungsinya kata akan sebagai atribut awal diikuti verba inti kata meminta dan diikuti dengan kata kembali yang berfungsi sebagai atribut dalam hal ini berperan sebagai aspek. Dengan demikian, pada contoh (43) ditemukan kombinasi pemakaian atribut sehingga apabila dibuat pola struktur yaitu: A1 (akan) I(V) + A2 (lagi). (44) Dia akan harus dapat memperdalam ilmu kanuraga. Dia sering berburu di hutan-hutan. Sedangkan pada contoh (44) sampai dengan (48) tampak digunakan frasa atributif pada frasa verbal. Dan pada contoh (44) frasa akan harus dapat memperdalam terdiri dari tiga unsur yang digunakan berurutan, yaitu akan, harus, dan dapat. Fungsi ketiga kata sebagai atribut yang mendahului verba inti memperdalam. Sesuai dengan urutan atribut verba ketiga kata yang berfungsi sebagai atribut digunakan secara berurutan sehingga jika dibuat pola struktur: A1 + A2 + A3 + I(V). Berbeda dengan pemakaian frasa verbal pada data berikut: (45) Di Gresik nama Ditotruno adalah rujuk dan nama Ditotruno itu sendiri. Ia harus dapat mengelabuhi setelah ia berada di Ngoro, bahkan menjadi tangan kanan Coolen tetapi lama kelamaan Coolen menjadi ragu dan merasa tersaingi oleh kesaktian Ditotruno. (46) Masyarakat mulai berpikir untuk membangun desa atau pindah ke tempat yang lebih baik tapi tak semudah itu karena harus berjuang untuk merapatkan tempat itu akhirnya perjuangan itu dimenangkan oleh orang-orang. (47) Keadaan ini banyak membuat orang berpikir dua kali untuk melewati daerah ini meski harus memenuhi keperluan tertentu yang terkadang tidak bisa ditinggalkan. (48) Tetapi karena didorong hasrat yang kuat dari sepasang pengantin tersebut, pengantin pria merasa ia harus secepatnya ia harus memberitahukan orang tuanya di Kutaraja Majapahit (sekarang Trowulan) bahwa ia sekarang sudah menikah, karena pernikahan itu dilewati dengan tanpa terlebih dulu memberitahukan apalagi meminta izin kepada orang tua pengantin pria; Guna Sentika. Hal ini berbeda dengan contoh (45) frasa harus dapat mengelabuhi didahului terdiri dari tiga struktur yaitu verba bantu harus dan dapat. Fungsi utama unsur inti verba kata mengelabuhi dan kata harus dapat berfungsi sebagai atribut. Struktur atributif frasa verbal jika dibuat dengan dua atribut yang mendahului inti adalah: A1 (harus) + A2 (dapat) + I(V). Pada contoh (46) dan (47) frasa harus berjuang dan frasa harus memenuhi merupakan frasa yang sama-sama terdiri dari dua unsur, yaitu atribut dan inti verba. Pada frasa harus berjuang, kata harus berfungsi sebagai atribut dari inti kata berjuang. Begitu juga pada frasa harus memnuhi kata harus berfungsi sebagai atribut dari kata memenuhi yang berfungsi sebagai inti frasa. Selain verba bantu dan aspek ada kelompok ketiga yang bertindak sebagai pewatas depan verba yang disebut dengan kelompok pengingkar yang terdiri dari kata tidak dan belum. Hal ini dikatakan oleh Hasan Alwi (1998:160) bahwa kaidah pengingkar mengingkarkan kata yang berada berdiri dibelakangnya dan tidak di depannya. Hal ini seperti pada tabel berikut: Pengingkar Tidak Inti Belum Tabel 3.3 Urutan Pengingkar Berdasarkan tabel 3.3 tampak adanya urutan pengingkar kata tidak dan belum sebagai atributif berada sebelum inti. Hal ini digunakan pada data berikut: (49) Pada pagi harinya menjelang subuh Liring Kuning keluar berjalan-jalan karena mengantuk secara tidak sengaja telah menginjak jejak kaki kerbau dan akhirnya terjatuh. (50) Karena Kebo Kicak selaku Demang di Dapur Kejambon maka semua orang tengah mencarikan obatnya, tapi obat apapun tidak harus menyembuhkannya sehingga pada akhirnya anggota keluarga memintakan obat ke Banyuarang kepada Kyai Mochtar. (51) Dan ternyata setelah sembuh. Meskipun telah jatuh Kebo Kicak harus tidak jera dan diapun menyerang kembali pondok Banyuarang untuk kedua kalinya Kebo Kicak menang. (52) Setelah berguru dengan Surontanu Liring Kuning diberi ilmu Kanuragan yang disebut dengan Aji Ponco Suryo. Ilmu ini intinya jika manusia yang memiliki tidak dapat mati diluar garis sebelum waktunya. Ada beberapa alternatif penggunaan atribut verba dalam bentuk pengingkar yang ditemukan pada contoh (49) sampai dengan (52). Berdasarkan contoh (49) unsur tidak yang berada di depan verba berfungsi sebagai atribut dari kata sengaja yang berfungsi sebagai inti frasa verbal. Sebagai fungsi mengingkarkan maka fungsi atribut berada sebelum inti frasa verbal sehingga jika dibuat pola struktur: A (pengingkar) + (verba). Hal ini berbeda dengan contoh (50) frasa tidak harus menyembuhkan terdiri dari tiga unsur, yaitu kata tidak sebagai pengingkar kata harus sebagai aspek dan kata menyembuhkan sebagai inti frasa verbal. Sesuai dengan fungsinya kata tidak berfungsi sebagai atribut pengingkar sedangkan harus merupakan atribut kedua verbal dan kata menyembuhkannya yang berfungsi sebagai inti verbal. Pada contoh (50) tampak penggunaan dua atribut yang berupa pengingkar dan diikuti verba bantu harus diikuti inti verba sehingga jika dibuat pola struktur: A1 (pengingkar) + A2 (V bantu) + I(V). Pada contoh (51) harus tidak jera dikenai ingkar oleh kata tidak sedangkan yang dikenai ingkar kata jera. Pada data ini tampak adanya dua kombinasi atribut yang digunakan sebelum verba inti jika dibuat pola struktur: A1 (pengingkar) + A2 (verba bantu) + I(V). Dan pada contoh (62) frasa tidak dapat mati memiliki pola struktur: A1 (pengingkar) + A2 (V. bantu) + I(V). Atribut pengingkar tidak dapat diletakkan dimana saja di antara verba bantu, aspek, atau di antara verba bantu dan aspek. Hal ini tampak pada data berikut: (53) Ia pun baru sadar bahwa dulu pernah memberikan Aji Ponco kepada Kebo Kicak tidak akan terkalahkan olehnya. Surontanu pergi ke gunung Pucangan untuk menemui gurunya Ki Gede Kates. (54) Ki Gede Kates menjelaskan kepada Surontanu bahwa Kebo Kicak tidak akan terbunuh jika antara kepala dan badan tidak dipisahkan. (55) Sedang beberapa jam kemudian sang laki-laki (mas Nganten) mencari pinggiran sungai setelah tidak akan menemukan kemudian mencari di rumah-rumah tangga hingga sampailah ke rumah buaya putih berwujud manusia menanyakan dimana keberadaan istrinya. Sang laki-laki dipersilahkan masuk dan duduk. (56) Tapi apa lacur, jawaban Ki Buyut Raga Jiwa justru hanya menaikkan adrenalin. Menurut Ki Buyut Raga Jiwa justru Ki Gedong yang tidak mampu menata wilayah tersebut sehingga sekarang ditimpa pageblug itu karena Ki Gedong yang haus akan kekuasaan dengan punya niatan untuk memperluas wilayahnya dan akan mencaplok batas-batas desa Jogoroto. Berdasarkan contoh diatas (53) sampai dengan (56) tampak bahwa atribut pengingkar tidak diikuti atribut lain sebelum inti. Hal ini tampak pada contoh (53) frasa tidak akan terkalahkan merupakan frasa verbal yang memiliki dua fungsi sebagai atribut, yaitu kata tidak dan diikuti kata akan. Begitu juga pada contoh (54) frasa verbal tidak akan terbunuh memiliki fungsi sebagai atribut pertama kata tidak dan atribut kata kedua, yaitu kata akan yang mendahului kata terbunuh yang mempunyai fungsi sebagai inti verbal. Fungsi dua atribut sebelum inti, yaitu tidak dan akan jika dibuat pola struktur adalah: A1 (tidak) + A2 (akan) + I(V). Hal ini berlaku juga pada contoh (55) frasa tidak akan menemukan merupakan frasa verbal yang terdiri dari unsur atribut dan inti. Berdasarkan fungsinya maka kata tidak dan akan berfungsi sebagai atribut pertama dan kedua dari inti kata menemukan yang berfungsi sebagai inti frasa verbal. Dan pada contoh (56) frasa tidak mampu menata merupakan frasa verbal dengan unsur kata mampu yang berfungsi sebagai inti frasa sedangkan fungsi kata tidak dan menata keduanya sebagai atribut. Kata tidak merupakan atribut pengingkar dari frasa mampu menata dengan fungsi menata sebagai atribut dari inti frasa verbal. D. Fungsi Atribut Frasa Ajektival Bahasa Indonesia Frasa ajektival memiliki unsur inti ajektiva. Dilihat dari strukturnya frasa ajektival terdiri atas unsur inti ajektiva dan atribut. Ajektiva yang berfungsi atributif adalah ajektiva yang member keterangan terhadap nomina dalam frasa nominal. Secara semantik ada dua tipe pokok ajektiva, yaitu ajektiva bertaraf yang mengungkapkan suatu kualitas dan ajektiva tidak bertaraf yang mengungkapkan keanggotaan dalam suatu golongan. Pembedaan ajektiva bertaraf dan ajektiva tidak bertaraf berkaitan dengan kemungkinan tidaknya ajektiva itu menyatakan berbagai tingkat kualitas dan berbagai tingkat bandingan. 1. Frasa Ajektival Bertaraf pada frasa ajektival bertaraf dapat dibagi atas: (1) pemeri sifat, (2) ukuran, (3) warna, (4) waktu, (5) jarak, (6) sikap batin, (7) cerapan. Struktur atributif frasa ajektival bertaraf dalam bahasa Indonesia tampak seperti pada data berikut: (57) Pada zaman dahulu kala di sebuah hutan di sebelah barat daya Mojowarno tepatnya sekarang di daerah kecamatan Mojowarno dan sekitarnya masih berupa hutan lebat. (58) Mereka berjalan bertiga mengembara dan untuk mencari kayu di hutan, kemudian dalam perjalanan itu mereka merasa lelah kemudian menemukan sebuah dataran tinggi dan di tempat itu ternyata terdapat sendhang kecil yang airnya sangat jernih, karena mereka merasa haus setelah mengadakan perjalanan yang panjang sehingga mengambil air itu dan meminumnya. (59) Orang yang melakukan segala sesuatu di desa Kembang Sore kalau dilakukan dengan rasa sombong maka orang itu akan rendah derajatnya, sebab terkena sumpahnya pendiri desa Kembang Sore. Dalam hal ini bisa dilihat pada contoh (56) sampai dengan (58) adalah pemakaian data ajektiva bertaraf kualitas. Hal ini tampak pula pada contoh (56) frasa hutan lebat merupakan ajektiva ukuran karena menunjukkan ukuran. Kata lebat mengacu pada kualitas yang dapat diukur dengan ukuran. Frasa hutan lebat terdiri dari dua unsur yang mempunyai fungsi hutan sebagai inti frasa dan lebat berfungsi sebagai atribut. Begitu juga pada contoh (57) frasa sendhang kecil merupakan ajektiva ukuran terdiri dari dua unsur kata sendhang yang berfungsi sebagai inti frasa ajektival dan kata kecil berfungsi sebagai atribut dari inti frasa sendhang kecil. Berbeda dengan contoh (58) frasa rasa sombong merupakan frasa ajektival yang menyatakan sikap batin karena berkaitan dengan pengacuan suasana hati atau perasaan. Frasa (58) terdiri dari dua kata, yaitu rasa yang berfungsi sebagai inti frasa dan kata sombong yang berfungsi sebagai atribut. Dengan demikian, pola dihasilkan oleh adalah: IA/Induk + Atribut dan AI/Atribut + Induk. Dilihat dari segi pemakaian ajektiva dapat menjadi ciri tingkat perbandingan. Menurut Quirk et.al. (1989:706) disebutkan bahwa hanya ada dua tingkat perbandingan dalam ajektiva, yaitu komparatif dan superlative. Lebih lanjut Quirk menyatakan bahwa tingkat perbandingan yang paling jelas digunakan dalam ajektiva dan adverb dalam bentuk fleksi dan perifrastis. Berbeda dengan pendapat Alwi (1999:180) dikatakan bahwa dalam ajektiva dikenal adanya pertarafan ajektiva. Ajektiva bertaraf dapat menunjukkan berbagai tingkat kualitas atau intensitas. Hal ni tampak seperti bagan berikut: Bagan 3.1 Tingkat Perbandingan Ajektiva Menurut pendapat Keraf (1991) dan Quirk (1989) bahwa struktur atributif frasa ajektival secara khusus dapat ditempatkan dalam tingkat perbandingan (gradus comparationis)dengan tujuan untuk membandingkan suatu keadaan dengan keadaan lain atau membandingkan suatu nomina dengan nomina lain. Perbandingan itu dapat dilakukan dengan: a) tingkat biasa (gradus positivus), tingkat lebih (gradus comparativus) dan tingkat paling (gradus superlativus), dan tingkat elatif. Dalam cerita naratif ditemukan penggunaan frasa ajektival yang menggambarkan tingkat positif yang dinyatakan dengan atribut kata tidak atau tak. Hal ini ditemukan pada data berikut: (60) Orang Jawa biasanya tidak berani mengucapkan kata yang mengandung arti yang berbahayayang ditakuti seperti harimau dinamakan Kiaine, ular disebut oyot dan sebagainya. (61) Kebetulan dia mengenal mbah Pranggang sehingga ia pun dapat mengenal Wandan Manguri namun Sodo Diring tidak sombong mengungkapkan perasaannya tiu kepada mbah Pranggang juga kepada Wandan Manguri. (62) Hal ini membuat hati Ki Gedong merasa tidak enak karena tetaplah Ki Buyut Raga Jiwa adalah saudaranya yang nota bene lebih tua, tapi itu dapat diluruskan kakaknya tersebut sehingga pada akhirnya hubungan mereka kembali membaik. Berdasarkan pada contoh (60) sampai dengan (62) tampak penggunaan beberapa penggunaan frasa ajektival. Pada contoh (60) frasa tidak berani dan (61) frasa tidak sombong didahului oleh adanya atribut tidak sebelum inti kata berani dan sombong pada frasa ajektival. Begitu juga frasa tidak sombong diwatasi oleh tidak sebelum inti sombong. Frasa ajektival pada kedua frasa menyatakan tingkat positif atau menyatakan sikap batin bertalian dengan suasana hati atau perasaan. Fungsi kata tidak sebagai atribut dari inti ajektiva. Begitu juga dengan contoh (62) frasa tidak sombong terdiri dari dua unsur, yaitu kata tidak yang berfungsi sebagai atribut dari kata sombong sebagai inti frasa ajektival. Penggunaan atribut tak frasa ajektival tampak ditemukan pada contoh berikut: (63) Utusan datang lagi ke Kyai Mochtar akan meminta lagi dan Kyai Mochtar meminta utusan itu untuk membawa Kebo Kicak ke Banyuarang tetapi dijawab oleh utusan bahwa Kebo Kicak tak mungkin dibawa karena untuk digerakkan saja sudah merasa kesakitan. (64) Karena merasa tak lama bertemu dengan gurunya Surontanu maka pada suatu ketika Kebo Kicak datang bersilaturahmi ke gurunya Surontanu lagi. Berdasarkan contoh (63) sampai dengan (64) tampak digunakan tak sebagai atribut fungsi tak pada frasa tak mungkin sebagai atribut dari inti ajektival. Begitu juga dengan contoh (64) frasa tak lama terdiri dari dua unsur yaitu unsur atribut dan inti. Fungsi tak sebagai atribut dari inti kata pada frasa nominal. Dengan demikian, penggunaan frasa ajektival pada contoh (60) sampai dengan (64) dinyatakan dengan struktur: A (tak) + I (Aj). Yang menyatakan tingkat kualitas ajektiva. Pada tingkat intensif frasa ajektival menekankan kadar kualitas atau intensitas yang dinyatakan dengan menggunakan atribut benar, betul, dan sungguh. Hal ini terdapat dalam contoh berikut: (65) Makam mbah Sam ada di tengah-tengah desa itu, barang siapa yang mengukur makam itu dengan jari (kilan) kalau pengukuran pertama sampai dapat lima kilan, pengukuran kedua dapat enam kilan, pengukuran ketiga dapat tujuh kilan dan pengukuran keempat kalau dapat delapan kilan maka akan terlampau mulya derajatnya benar, kalau telah mengukur keempat dan tidak sampai dapat tujuh kilan maka akan rendah derajatnya. (66) Tetapi bunga mawar itu kalau pagi warnanya putih sedangkan kalau sudah malam warnanya berganti menjadi merah sedangkan bunga melati kalau ada hujan maka harum betul baunya. Saat ini bisa dilihat pada contoh (65) tampak digunakan frasa mulya derajatnya benar yang terdiri dari dua atribut yang digunakan secara bersama-sama, yaitu mulya (A) yang berada di awal dan benar (A) di akhir. Fungsi kata mulya dan benar sebagai atribut di awal yang mengapit kata derajat sebagai inti frasa ajektival. Dengan demikian, jika dibuat pola dengan struktur: A+I (Ajektiva) + A. dengan kata lain, pada contoh (65) tampak adanya atribut terbagi. Pada contoh (66) tampak digunakan frasa harum betul dengan struktur yang terdiri dari dua kata. Fungsi kata betul yang berada di belakang ajektiva merupakan atribut dari kata harum sebagai inti frasa ajektival. Dengan demikian, penggunaan frasa (65) dan (66) merupakan frasa ajektival yang berada pada tingkat intensif dengan penanda digunakan benar dan betul sebagai atribut. Pola yang dihasilkan pada struktur atributif terlihat pada contoh (65) da (66), yaitu: A (tidak/tak) + I(Aj.). Dalam frasa ajektival yang menggambarkan tingkat elatif digunakan atribut sangat, amat, dan sekali yang diletakkan sebelum atau sesudah inti kata. Hal ini tampak pada data berikut: (67) Pada zaman dahulu kala di sebuah desa di sebelah barat daya Mojopahit tepatnya sekarang di daerah kecamatan Mojowarno dan sekitarnya masih berupa hutan lebat dan hutan itu merupakan sebuah dataran tinggi yang orang dulu menyebutnya dengan puthuk dan di puthuk itu terdapat sendang (telaga) kecil yang airnya sangat jernih. (68) Ketika meminum air itu mereka bertiga merasa air itu sangat segar sekali lalu kemudian mereka tertidur. (69) Hutan itu sangat jauh Ditotruno buka adalah hutan kracil yang letaknya dari Ngoro lebih kurang 17 k. (70) Orang amat sangat percaya bahwa setiap desa di Jawa memiliki “dhanyang yang membaureksa” yaitu “rokh-rokh” dipandang dapat melindungi desa dari bahaya. Dalam contoh diatas yaitu (67) sampai dengan (70) tampak beragam penggunaan fungsi atributif frasa ajektival yang menyatakan tingkat elatif. Dan pada contoh (67) tampak adanya pemakaian frasa sangat jernih sebagai atribut ajektiva dengan struktur jernih sebagai induk sedangkan sangat sebagai atribut. Begitu juga pada contoh (68) frasa sangat segar sekali sebagai atribut ajektiva dengan struktur segar sebagai induk yang diapit oleh dua atribut, yaitu sangat dan sekali. Dengan demikian, struktur atributif yang terdapat pada contoh (67) dan (68) jika dibuat pola adalah A + I (Ajektiva). Berbeda dengan contoh (69) frasa sangat jauh mengalami perpanjangan dalam hal pengucapan fonem. Fonem /ua/ seharusnya cukup diucapkan dengan /a/. perubahan dalam pemanjangan fonem membuat perubahan makna dalam hal tingkat perbandingan ajektiv a. dengan pemanjangan fonem akan mengubah tingkatan dari tingkat positif menjadi tingkat elatif. Dengan demikian, adanya pemanjangan fonemdalam frasa ajektival akan mengubah makna dan mengubah jenis tingkat ajektiva. Hal ini menunjukkan bahwa penutur terpengaruh dengan kosakata dalam bahasa Jawa, yaitu dengan cara memanjangan vocal untuk menyatakan makna sangat. Frasa sangat jauh pada kalimat diatas merupakan perkecualian. Frasa sangat jauh berfungsi sebagai predikat bukan atributif. Ajektiva yang menjalankan fungsi predikat atau pelengkap dalam klausa dikatakan berfungsi predikatif. (71) Mereka berjalan bertiga mengembara dan untuk mencari kayu di hutan, kemudian dalam perjalanan itu mereka merasa lelah kemudian menemukan sebuah dataran tinggi dan di tempat itu ternyata terdapat sendhang kecil yang airnya sangat jernih, karena mereka merasa haus sekali setelah mengadakan perjalanan yang panjang sehingga mengambil air itu dan meminumnya. (72) Pada zaman dahulu kala di sebuah desa di sebelah barat daya Mojopahit tepatnya sekarang di daerah kecamatan Mojowarno dan sekitarnya masih berupa hutan lebat dan hutan itu merupakan sebuah dataran tinggi yang orang dulu menyebutnya puthuk dan di puthuk itu terdapat sendang (telaga) kecil yang airnya sangat jernih sekali. Ada perbedaan penggunaan atribut dalam contoh (70) dibandingkan dengan yang terdapat pada contoh (72). Sedangkan pada contoh (70) frasa amat sangat percaya tampak adanya fungsi dua atribut yang digunakan secara berurutan dengan kombinasi penggunaan dua atribut sekaligus. A1 kata amat dan A2 kata sangat pada ajektiva berfungsi sebagai atribut inti kata percaya yang menggambarkan tingkat elatif menggambarkan kualitas atau intensitas tinggi. Dalam bahasa Indonesia didahului dengan atribut amat dan sangat. Hal ini berbeda dengan contoh (72) digunakan dua atribut terpisah yaitu kata sangat sebagai atribut depan dan sekali sebagai atribut belakang yang mengapit inti kata ajektiva jernih. Dengan demikian, dapat dibuat adanya dua pola atribut, yaitu: 1)A1(amat)+A2(sangat)+I(Aj.) dan 2)A1(amat)+I(Aj.)+A2(sekali). Pada masa ajektival yang menggambarkan tingkat eksesif digunakan atribut terlalu, terlampau dan kelewat yang diletakkan sebelum inti. Hal ini tampak pada data berikut: (73) Padahal menurut kepercayaan Jawa, sepasang pengantin yang baru menikah tidak boleh melakukan perjalanan terlalu jauh, lebih-lebih melewati hutan selama kurun waktu kurang lebih sepasar. (74) Jadi, meskipun berangkat dengan berbekal berat hati dari keluarganya di Kediri, sepasang pengantin baru ini nekat berangkat dengan niatan terlampau tulus bahwa mereka memang ingin nyambung balung pisah (Indonesia: bersilaturakhim). Tingkat eksesif mengacu pada kadar kualitas atau intensitas yang berlebihan atau melampaui batas kewajaran dengan dinyatakan dengan pewatas terlalu dan terlampau. Pada data(73) dan (74) tampak fungsi atribut terlalu dan terlampau yang digunakan sebelum inti kata jauh pada frasa ajektival. Dengan demikian, jika kedua struktur dibuat pola yang menyatakan tingkat aksesif adalah: A (terlalu, terlampau)+I(Aj.). Frasa ajektival yang menggambarkan tingkat augmentatif tidak ditemukan data penelitian. Tingkat augmentatif yaitu tingkat ajektiva yang menggambarkan naiknya atau bertambahnya tingkat kualitas atau intensitas. Pada frasa ajektival yang menggambarkan tingkat atenuatif digunakan atribut agak atau sedikit yang diletakkan sebelum inti. Hal ini tampak pada data berikut: (75) Wajar saja kalau perjalanan mereka juga sedikit tersendat-sendat karena memberikan sedikit waktu lagi bagi mereka berdua untuk memadu kasih. (76) Tapi setelah Ki Jaga Karya agak keras dan memaparkan alasan-alasan yang masuk akal, Guna Sentika pun menerima dan segera beranjak untuk memanggil Rara Sumini yang tengah ciblon seperti layaknya bidadari Nawang WUlan yang tengah turun ke bumi. (77) Terdorong oleh udara bulan madu, melihat Rara Sumini yang tengah bermain-main di air dengan tubuh basah kuyub membuat jantung Guna Sentika segera berdegup agak kencang dan darahnya tersirap. Pada tingkat atenuatif memerikan penurunan kadar kualitas atau pelemahan intensitas yang dinyatakan dengan memakai pewatas agak atau sedikit yang berstruktur atributif. Dengan digunakan kata sedikit, agak menyatakan adanya penurunan kadar kualitas atau pelemahan intensitas. Dalam contoh (75a) dan (75b) tampak perbedaan penggunaan tingkat atenuatif. Pada contoh (75a) frasa sedikit tersendat-sendat memiliki fungsi kata sedikit sebagai atribut yang menjelaskan inti kata tersendat-sendat. Sedangkan contoh (75b) frasa sedikit waktu lagi memiliki fungsi dengan struktur atributif terbagi. Kata waktu sebagai inti diapit oleh dua atribut, yaitu: 1) A1 kata sedikit yang terletak di awal dan 2) A2 kata lagi yang berada di akhir inti frasa ajektival. Dengan demikian, ditemukan pola struktur atributif frasa ajektival tingkat atenuatif yaitu: A(sedikit, agak)+I(Aj.). 2. Frasa Ajektival Bandingan Pada tingkat ajektiva bandingan dalam wacana naratif ditemukan penggunaan frasa ajektival dalam tingkat komparatif. Frasa ajektival yang menggambarkan tingkat komparatif ditandai dengan penggunaan atribut kata lebih sebelum inti kata. Pada tingkat perbandingan komparatif menerangkan bahwa keadaan nomina melebihi keadaan nomina lain. Hal ini tampak pada data berikut: (78) Masyarakat mulai berpikir untuk menbangun desa atau pindah ke tempat yang lebih baik tapi tak semudah itu karena harus berjuang untuk merapatkan tempat itu akhirnya perjuangan itu dimenangkan oleh orang-orang keramat. (79) Tapi setelah Ki Jaga Karya lebih keras dan memaparkan alasan-alasan yang masuk akal, Guna Sentika pun menerima dan segera beranjak untuk memanggil Rara Sumini yang tengah Ciblon seperti layaknya bidadari Nawang Wulan yang tengah turun ke bumi. (80) Di kala itu ada orang dari kerajaan Majapahit yang sakti yang konon sampai bisa mendatangkan jin, demit dan sebangsanya untuk membantu mengalahkan musuh di wilayah itu, dan musuhnya juga makhluk halus yang lebih lama tinggal di daerah atau wilayah itu. Berdasarkan contoh pada (78), (79), dan (80) tampak adanya penggunaan penanda tingkat bandingan ajektiva menggunakan atribut lebih yang menggunakan tingkat perbandingan komparatif. Pada frasa lebih baik, lebih keras dan lebih lama dinyatakan adanya kualitas atau intensitas yang lebih atau kurang. Pada contoh (78) frasa lebih baik dengan fungsi kata lebih merupakan atribut dari inti kata baik pada frasa ajektival. Pada struktur ajektival atribut lebih mendahului inti ajektiva dengan struktur A+1 (ajektiva). Hal ini berlaku sama dengan yang ada pada contoh (79) da (80) dengan fungsi lebih sebagai atribut dari inti kata keras dan lama. Dengan demikian, pola struktur atributif tingkat komparatif, yaitu: A(lebih)+A1. Penggunaan frasa ajektival bersifat atributif ditemukan pada tingkat perbandingan superlatif. Pada data berikut unsur yang menjadi atribut adalah adverbial perbandingan atau superlatif. Dalam hal ini ajektiva dalam frasa ajektival dapat didahului atribut paling yang berposisi di sebelah kiri (mendahului) inti seperti pada data berikut: (81) Beliau akan suka mamberitahukan kepada mbah Pranggang bahwa raja Brawijaya mempunyai selir yang bernama Wandan Kuning karena mbah Pranggang dianggap sebagai orang paling pandai yang bijaksana maka prabu Brawijaya menyerahkan selirnya Wandan Kuning kepada mbah Pranggang dengan harapan selirnya dirawat sebagaimana mestinya. (82) Semenjak Kebo Kicak sembuh di Banyuarang tidak mau pulang dan berguru kepada kyai Mochtar untuk menjadi santri. Sejak saat itu Kebo Kicak berpindah menjadi seorang Muslim yang paling taat dan oleh Kyai Mochtar diberi ilmu kanuragan sebagai bekal kehidupan sebagai umat Islam. (83) Semua kejadian ditanggung oleh orang-orang Kramat dengan beranak pinak suatu desa menjadi sempit pada akhirnya ingin mendirikan desa lagi di sebelah desa Tanggung Kramat tapi tempat yang harus ditempati paling banyak hewan (kreco) terpaksa harus ditimbun dengan pasir baru didirikan sebuah desa dan diberi nama Kleco. (84) Desa tersebut kala itu dipimpin oleh tetua kampung bernama Ki Gedong, nama sebenarnya kurang jelas, namun karena rumahnya yang paling bagus di antara penduduk yang lain maka tetua kampung tersebut dipanggil dengan sebutan Ki Gedong (dalam bahasa Jawa bermakna “gedung”, malah ada idiom ‘gedung magrong-magrong’ untuk menyebut bangunan yang mewah dan bagus). (85) Menurut versi yang lain, Ploso Kendal adalah memang Ploso itu nama sebatang pohon yang besar seperti pohon randu akan tetapi lebih besar dari pohon randu yang paling besar. Pada contoh (81) sampai dengan (84) tampak penggunaan tingkat perbandingan superlatif ajektiva. Pada tingkat superlatif mengacu pada tingkat kualitas atau intensitas yang paling tinggi di antara semua acuan ajektiva yang dibandingkan. Tingkat superlatif pada data dinyatakan dengan pamakaian atribut paling mendahului ajektiva. Pada contoh (81) frasa paling pandai terdiri dari dua unsur yaitu paling sebagai atribut dari inti kata pandai pada frasa ajektival. Pada contoh (82) s.d (84) berlaku sama dalam hal fungsi atribut yang menjelaskan inti frasa ajektival. Dengan demikian, struktur yang terdapat dalam contoh (81) s.d (84) adalah: A(paling) + I(Aj.). Pada tingkat superlatif atributif frasa ajektival ditemukan dalam bentuk pengingkaran pada wacana naratif. Struktur atributif superlatif didahului oleh kata paling dikuti bentuk ingkar tidak dan diikuti oleh ajektiva. Hal ini dapat dijumpai pada contoh (85) dan (86) sebagai berikut: (86) Dialah orang yang paling tidak sombong di desa Kembang Sore. (87) Orang yang melakukan segala sesuatu di desa Kembang Sore adalah orang yang paling tidak sombong maka dan jika orang itu rendah derajatnya maka tidak terkena sumpah pendiri desa Kembang Sore. Pada contoh (86) dan (87) tampak bahwa atribut kata paling yang berada pada tingkat superlatif mengacu pada kualitas yang paling tinggi di antara semua acuan ajektiva yang dibandingkan. Hal ini tampak pada contoh (86) bahwa paling berfungsi sebagai atribut pertama yang diikuti dengan bentuk ingkar tidak. Kata sombong berfungsi sebagai inti frasa ajektival dengan didahului oleh bentuk ingkar tidak. Dengan demikian, pada tingkat superlatif frasa ajektival dapat dibuat pola struktur: A1(paling)+A2(tidak)+I(Aj.). Jika ditemukan atribut frasa ajektival lebih dari satu maka rangkaian struktur atributif frasa dihubungkan dengan kata yang. Hal ini tampak pada data berikut: (88) …diambil dari kata Danyangan/tepatnya Danyang sebab pedukuhan itu merupakan tempat paling angker yang menyeramkan sekali di hutan Kracil. (89) Makam mbah Sam ada di tengah-tengah desa itu, barang siapa yang mengukur makam itu dengan jari (kilan) kalau pengukuran pertama sampai dapat lima kilan, pengukuran kedua dapat enam kilan, pengukuran ketiga dapat tujuh kilan dan pengukuran keempat kalau dapat delapan kilan maka sangat mulya yang agung derajatnya sekali, kalau telah mengukur keempat dan tidak sampai dapat tujuh kilan maka akan rendah derajatnya. (90) Mbah Dewo yang mendirikan kemasan atau tukang memperbaiki (sepoh) emas, orang yang kerjanya memperbaiki emas yang ada di desa Kembang Sore sangat tampan sekali dan bahkan kalau dalam pewayangan disebut Arjuna karena tampannya melebihi 41 orang. Pada contoh (88) tampak penggunaan dua frasa, yaitu frasa pertama (F1) paling angker + yang + (F2) menyeramkan sekali. Jika dibuat struktur: A+I(Ajektiva)+yang+I+A> Dengan kata lain, dua frasa dirangkaikan dengan penghubung yang dengan atribut (A1) paling dan (A2) sekali yang mendahului dan mengakhiri ajektiva. Mengingat atribut yang digunakan lebih dari satu maka rangkaian pewatas dapat dihubungkan dengan penghubung kata “yang”. Hal ini seperti tampak pada contoh (88) frasa paling angker yang menyeramkan sekali memiliki dua pewatas ajektiva yang terdiri dari frasa ajektival paling angker dan menyeramkan sekali yang keduanya berfungsi atributif sehingga dihubungkan dengan kata penghubung “yang”. Sedangkan dalam contoh (88) jika dibuat struktur adalah: A1+I (ajektiva)+yang+I(Ajektiva)+A2. Begitu juga pada contoh (89) frasa sangat mulia yang agung derajatnya sekali mempunyai struktur atributif dengan pewatas sangat mendahului ajektiva mulia yang menyatakan adanya tingkat elatif sebab menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas tinggi yang ditandai dengan penggunaan pewatas sangat dan dirangkaikan dengan frasa agung derajatnya sekali. Kedua frasa ajektiva tersebut dirangkaikan dengan pewatas yang. Dengan kata lain, ada kombinasi penggunaan dua atributif yang digunakan sekaligus dengan struktur atributif mendahului induk dirangkaikan dengan yang dan diikuti oleh atributif. Dan pada contoh (89) apabila dipolakan berstruktur: A1 (paling/sangat)+yang+I(Aj.)+A2 (sekali). Berdasarkan temuan struktur atributif frasa ajektival dapat dibuat urutan relatif atributif frasa ajektival dalam bentuk kombinasi seperti tabel berikut: Terlalu Terlampau Terlewat Amat Sangat Ajektiva Amat Sekali Benar Betul Sama sekali Paling Tidak Tidak Ajektiva Sama sekali Tabel 3.5 Urutan Atribut Frasa Ajektival Berdasarkan tabel 3.5 tampak adanya urutan atribut frasa ajektival dengan posisi sebelum dan sesudah ajektiva. Ditinjau dari posisi sebelum ajektiva kata terlalu, terlampau, dan terlewat sebagai atribut mendahului ajektiva sedangkan amat sangat adalah dua atribut digunakan secara berurutan sebelum ajektiva. Kata sama sekali dan paling sebagai atribut digunakan sebelum ajektiva atau kata sama sekali dan paling dapat digunakan secara berurutan dengan kombinasi bentuk ingkar tidak. Ditinjau dari posisi setelah ajektiva kata amat, sekali, benar, betul, dan sama sekali terletak setelah ajektiva. Dalam bentuk kombinasi kata sangat dan kata amat, benar, sekali, betul dan sama sekali dapat muncul sebagai kombinasi sebelum dan sesudah ajektiva. Begitu juga dalam bentuk ingkar kata tidak dapat berkombinasi sebelum dan sesudah ajektiva dengan kata sama sekali. DAFTAR PUSTAKA ALWI, HASAN dkk. 1998. Bahasa Baku Bahasa Indonesia ED. III. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ALWI, HASAN dkk. 1992. Modalitas dalam Bahasa Indonesia. (Edisi III). Yogyakarta: Kanisius. Bloomfield, Leonard. 1957. Language. Henry Holt and Company: New York. Bogdan, .R.C. Biklen, S.K. 1998. Qualitative Research in Education: An Introduction to Theory and Method. USA: Allyn Bacon. Brown, Kenneth dan J. Mile. 1996. Syntax: A Linguistic Introduction to Sentence Structure. London: Rouldge. Brow, G. dan Yule, G. 1985. Discourse Analysis. Cambridge: University Press. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chamettzky, Robert. A. 2000. Phrase Structure: From GB to Minimalism. Malden: Massachusetts USA. Chatman, S. 1980. Story and Discourse Structure in Fiction and Film. Itacha: California University. Chomsky, Noam. 1965. Aspects of The Theory of Syntax. Cambridge Massachusetts. Comrie, Bernard. 1981. Aspect: an Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related Problems. Cambridge: Cambridge University Press. Dananjaya. 1982. Foklor Indonesia. Jakarta: Direktur Jenderal Kebudayaan. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung. Eresco. Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Analisis Bahasa Sintaksis dan Semantik. Bandung: Humaniora Utama Press. Dik, Simon C. 1978. Functional Gammar. Amsterdam: North-Holand Publishing Company. Dik, Simon C. 1980. Studies in Functional Grammar. New York: Academic Press. Dik, Simon C. 1997. Analisis Bahasa SIntaksis dan Semantik. Bandung: Humaniora Utama Press. Finoza, L. 2002. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Intan Mulia. Fokker, A.A. 1960. Pengantar Sintaksis Indonesia. Terjemahan dari Inleiding tot de Studie Van Indonesische Syntaxis (1950) oleh Djonhar. Jakarta: PN Pradnya Paramita. Fowler, R. 1977. Linguistics and The Novel. London: Metheun and Co. Ltd. Genette, Gerard. 1972. Narrative Discourse. French: Cornell University. Givon, T. 2001. Syntax Volume 1. Amsterdam: Philadelphia. Givon, T. 2001. Syntax Volume 2. Amsterdam: Philadelphia. Gleason, H.A. 1961. An Introduction to Descriptive Linguistics. Holt, Rinehart and Winston. Greenberg, Joseph H. 1974. Language Tipology: A Historical and Analytic Overview, The Hague: Mouton. Halliday, M.A.K. 1972. Language Structure and Language Function. England: Penguin Books Ltd. Harmondswoth, Middlesex. Halliday, M.A.K. 1976. System and Function in Language. London: Oxford University Press. Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Huddleston, Rodney. 1985. Phrase Structure. Cambridge: Cambridge University Press. Jacobs, Roderick A. 1993. English Syntax. Oxford: Oxford University Press. Jespersen, Oto. 1993 Part VII. Modern English Grammar on Historical Principles. London: George Allen & Unwin Ltd. Halim, Amran, ed. 1984. Politik Bahasa Nasional, Jakarta: PN Balai Pustaka. Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah. Keraf, Gorys. 1986. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Kridalaksana, Harimurti (Ed.) 1993. Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kelas Kata dalam Bahsa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Saussure: Peletak Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lyons, John. 1977. Semantics jilid 1 Cambridge: Cambridge University Press. Lyons, John. 1985. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Oka, I.G.N. dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Parera, Jos Daniel. 1991. Sintaksis. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama. Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Purwo, Bambang Kaswanti. Ed. 1995. PELLBA 7. Jakarta: Lembaga Unika Atma Jaya. Purwo, Bambang Kaswanti. Ed. 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Gunung Mulia. Quirk, Randolp,et.al.1985. A Comprehensive of The English Language. Longman Group Ltd. Essex. Quirk, Randolp,et.al.1989. A Grammar of Contemporary English. Longman Group Ltd. Essex. Ramlan, M. 1980. Kata Depan atau Preposisi dalam Bahasa Indonesia. Cetakan 1. Yogyakarta: U.P. Karyono. Ramlan, M. 1981. Sintaksis. Yogyakarta. CV Karyono. Rusyana, Yus dan Jaruki, M. Djati W. 2000. Prosa Tradisional Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Samarin, Wiliam J. 1967. Field Linguistics, A Guide to Linguistics Field Work. New York: Holt, Reinhart&Winston. Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius. Sampson, William J. 1967. School of Linguistics. London: Hutchinson. Samsuri. 1983. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Schools, Robert dan Robert Kellog. 1982. The Nature of Narrative. London: University Press. Siewierska, Anna. 1991. Function Grammar. London: New Fetter Lane. Siregar, Marida G. dkk. 2000. Konstruksi Frasa dengan Kata “yang”. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: LPP. UNS dan UNS Press. Sudaryanto. 1992. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia. Djambatan Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suhardi. 2005. Verba Berprosisi Dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra dan Pengajarannya 12(2): 274-278. Sumadi dkk. 1995. Sistem Morfemis Adjektiva Bahasa Jawa-Indonesia Suatu Studi Kontrastif. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suparno. 1993. Konstruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan Tidak Resmi Masyarakat Kotamadya Malang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Tomkins, G.E. dan Hokisson, K. 1990. Language Arts Content and Teaching Strategies. New York: Macmilan Publishing Company. Tompkins, G.E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmilan Publishing Company. Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi. (edisi keempat). Verhaar, J.M.W. (Ed.) 1978. NUSA Linguistics Studies in Indonesian Volume 6. Part V. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA. Verhaar, J.M.W. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Verhaar, J.M.W. 1999. Azas-Azas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wahab, A. dan Lestari, L.A. 1999. Menulis Karya Ilmiah. Surabaya: Erlangga. Yalden, J. 1987. Principle of Course Design for Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

No comments:

Post a Comment